Saturday, March 20, 2010

NEGERI TUPAI BAWAH TANAH

Aku terus berlari meskipun harus tertatih-tatih karena aku sempat tersandung kerikil yang meskipun kecil tapi sudah benar-benar membuat jempol kakiku bengkak dan memar. Aku tak sedikitpun berani menoleh ke belakang untuk kali ini.
Namun akhirnya aku menoleh juga ke belakang dan tahu-tahu laki-laki yang sedari tadi mengejarku dengan golok besar di tangan kanannya sudah lima langkah lebih dekat. Aku mencoba menyembunyikan diri di dalam tong kosong yang aku temukan di gang sela-sela gedung dan sepertinya tong yang aku temukan adalah tong sampah.
“Ke mana sih tuh bocah? Bikin susah aja pengemis kecil satu itu!”
Aku mendengar ocehan geram majikanku itu dengan decakan yang lumayan mengerikan. Aku mencoba menutupi hidungku yang hampir bersin karena tak tahan dengan debu dan bau busuk di dalam tong sampah.
“Sial!” aku mendengar langkah kaki menjauh dengan tergesa-gesa. Aku mengintip untuk memastikan bahwa itu adalah langkah kaki majikanku. Dan benar saja, dia sudah kehilangan jejakku.
Aku keluar dari tong sampah itu lalu berjalan ke dalam gang dengan nafas yang masih sedikit memburu tak beraturan. Lalu di tengah-tengah perjalanan aku menemukan sebuah ruangan yang tak berpintu yang terlihat gelap meskipun hari masih sore.
Dengan ragu aku memasukinya dan serta-merta aku merasakan hawa yang pengap karena debu dan kardus-kardus yang berserakan di sana-sini. Sepertinya ini adalah gudang penyimpanan barang-barang bekas.
Aku sempat terlonjak kaget ketika seekor tikus berlari ke arah atap dengan santainya di depanku. Untung saja aku bukan salah satu orang yang alergi tikus atau semacamnya.
Karena kelelahan, aku menyingkirkan beberapa kardus dan bermaksud untuk membongkarnya untuk aku gunakan alas. Karena jujur saja, lantai ruangan ini sangat kotor sekali.
Belum sempat aku membongkar kardus lumayan besar yang aku temukan, perhatianku teralihkan pada satu balok kayu berengsel di bawah lantai. Engsel itu memang tak akan mencurigakan jika tak diperhatikan dengan teliti. Karena penasaran, aku pun membukanya dan ternyata di sana terdapat satu ruangan bawah tanah!

***


Wow! Benar-benar di luar dugaan! Ruangan bawah tanah ini lebih pantas disebut hutan. Bisa aku gambarkan suasana di sini seperti belantara tak berpenghuni yang di sana-sini ditumbuhi pohon besar dan tebing-tebing yang curam dan menyeramkan.
Suara kicauan burung dan suasana senja membuat rasa ngantukku semakin menjadi. Akupun berteduh di bawah pohon terdekatku lalu duduk bersandar dan memejamkan mata.
 Ketika aku membuka mata, tak sadar langit sudah gelap dan penuh bintang. Aku mencoba berdiri dan merapikan penampilanku meskipun aku tahu tak akan ada yang memperhatikan.
“Hallo, anybody here?”
Aku mencoba berteriak untuk memastikan apakah ada seseorang di dalam sini. Namun ternyata tak ada satupun jawaban. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti jalan setapak. Siapa tahu saja aku mendapatkan sesuatu yang bisa mengisi perutku.
Bruuk!
Tiba-tiba di jalan aku menemukan seekor tupai yang tergeletak jatuh dari pohon dan kakinya terluka.
“Hei, apa kau baik-baik saja?”
Tupai itu mencoba membuka mata. “Hanya terluka sedikit,” dan baru kali ini aku mendengar ada binatang yang bisa berbicara. “kau bisa membantuku?”
Aku mengangguk ragu. “Apa yang bisa aku lakukan?”
“Antarkan aku pulang.”
Setelah sampai di tempat tinggal Ibu Tupai yang kecil untuk ukuranku, ia mengajakku masuk. Aku hanya bisa menurutinya meskipun aku harus bersusah payah masuk ke dalam rumahnya.
“Kau tersesat?” tanya Ibu Tupai setelah selesai mengobati kakinya sendiri dan menyiapkan makanan untukku. Kau tahu? Makanannya adalah kacang.
Aku mengangguk.
“Kau bau sekali,Nak! Sepertinya kau perlu mandi besok pagi.”
Aku mengangkat tanganku dan mengendus ketiakku yang memang bau sekali. Wajar saja, aku sudah tidak mandi selama dua hari. “Sepertinya ide yang bagus.”
Pagi harinya Ibu Tupai beserta anak-anaknya yang masih kecil membawaku ke sebuah muara sungai yang lumayan jauh dari rumahnya. Tak apalah, setidaknya aku bisa mandi di sini.
Setelah sampai di sungai, aku terkagum-kagum melihat ada sebuah istana megah di seberang sungai yang tak terlalu deras ini.
“Itu adalah istana raja kami di sini,” kata Ibu Tupai mengagetkanku.
“Sepertimu juga?”
“Iya. Karena memang negeri ini sedang dikutuk oleh Ratu Sihir paling jahat di negeri ini.” Jawabnya ketakutan.
“Kenapa bisa begitu?”
“Sudahlah. Lebih baik kau mandi saja sekarang.”
Usai mandi, aku mengenakan pakaian baruku ang diberikan Ibu Tupai kepadaku. Dia berkata bahwa itu adalah pakaian anaknya yang memang tidak dipakai lagi semenjak kutukan itu.
“Hei! Siapa kau?”
Aku menoleh ke asal suara laki-laki itu yang sepertinya seumuran denganku. Dan ternyata aku salah duga, yang aku lihat adalah seekor tupai yang tak terlalu besar dengan mahkota kecil di atas kepalanya.
“Aku? Aku Nilly,”
Tupai itu mendekatiku dan tersenyum sinis. “Kau tersesat?”
“Well, tepat seperti dugaanmu,” jawabku tak kalah sinis.
Akhirnya tupai itu mengajakku ke rumahnya yang ternyata adalah istana di depan sungai yang tadi kulihat. Ternyata di dalamnya jauh lebih indah daripada yang terlihat dari luar.
“Kau suka?”
Aku mengangguk-masih memandangi seisi ruangan yang megah.
“Oh ya, panggil saja aku Rey.”
Aku menatap Tupai kecil di depanku itu. “Rey,”
Kemudian Rey mengenalkanku kepada ayah dan ibunya serta semua pelayan yang ada di istananya ini. Mereka semua sangat baik denganku. Bahkan sempat menawariku untuk menetap di sini. Namun Ibu Tupai sudah berpesan kepadaku agar aku tidak bermain sampai larut malam.
“Sayang sekali. Padahal aku akan sangat senang kau bisa tinggal di sini anak manis,” kata Permaisuri dengan ramah.
“Mungkin lain kali,” jawabku tersenyum. “dan aku harus pulang sekarang.”
“Hei, bisa kau antarkan dia sampai rumahnya Rey?” tanya Raja kepada Rey.
Rey mengangguk. “Baik, Ayah!”
Sebelum aku pulang, Permaisuri mendekatiku dan memerikan sesuatu kepadaku. “Mungkin suatu saat kau akan membutuhkan ini, Sayang.”
Aku menerima kalung berhiaskan bola kristal pemberiannya dengan senang hati. “Terima kasih, Permaisuri.”
“Panggil saja aku Ibu.”
Aku tersenyum malu. “Baik, Ibu.”
Setelah aku sampai di rumah, aku menceritakan bagaimana indahnya istana Raja itu dan bagaimana ramah dan baiknya orang-orang di dalam sana, termasuk Rey. Ibu Tupai menanggapinya dengan girang karena dia juga sangat mencintai Raja dan semua keluarganya.
Lalu di malam hari ketika aku berbaring akan tidur, aku memperhatikan kalung di leherku dan menggosok bola kristalnya yang cantik.
Tiba-tiba keluar cahaya yang sangat terang sehingga aku harus memejamkan mata. Dan ketika aku membuka mata, sesosok wanita cantik dengan sayap di punggungnya berdiri di depanku dengan tersenyum cantik.
“Bagaimana kabarmu, anak manis?” tanyanya spontan.
“Kau seorang bidadari?” tanyaku polos.
“Iya. Dan kaulah yang ditunjuk sebagai penyelamat negeri ini, Sayang.” Jawab bidadari cantik itu dengan senyuman yang seperti mengeluarkan cahaya.
“Aku? Penyelamat negeri?”
“Iya. Sekarang tidurlah dan akan aku jelaskan besok pagi.”
Kemudian bidadari itu mengeluarkan cahaya lagi dan kali ini membuatku sangat ngantuk dan tertidur.

Esok paginya setelah bidadari menceritakan semuanya padaku, aku baru tahu kenapa negeri ini sampai terkena kutukan. Dan aku sudah tahu bagaimana cara memanggil bidadari agar muncul di depanku. Yaitu dengan menggosok bola kristal di kalungku dengan lembut dan hati-hati, begitu kata bidadari.
“Jadi, sekarang kau yang harus membebaskan kutukan Ratu Sihir di negeri ini.”
“Tapi bagaimana caranya?”
“Kau anak yang cerdas untuk menentukan bagaimana caranya.”

Setelah seharian aku memikirkan bagaimana caranya untuk menyingkirkan kutukan itu, aku pergi ke istana raja lalu menemui Rey dan dan orang tuanya.
“Ternyata dugaanku tidak salah. Kaulah yang akan menyelamatkan kami, anak manis.” Kata Ibu Permaisuri lalu tersenyum bahagia.
“Ya, dan aku akan membantumu Nilly.”
Aku tersenyum lega mendengar Rey akan membantuku menyingkirkan Ratu Sihir dan kutukannya. “Tapi aku masih belum tahu bagaimana caranya menyingkirkann kutukan itu.”

Setelah berhari-hari aku memikirkan bagaimana caranya untuk membebaskan negeri ini dari kutukan, akhirnya aku memutuskan untuk menemui langsung Ratu Sihir di istananya yang aku belum tahu di mana tempatnya.
“Apa kau yakin?” tanya Rey ragu.
Aku mengangkat bahu. “Apa salahnya kita mencoba, Rey?”
“Oke. Terserah kau saja lah Tuan Putri.”
Aku tersipu malu mendengar sapaan Rey yang ia lontarkan kepadaku. “Apa kau bilang?”
Rey menyembunyikan kedua tangannya dibalik punggung dan menunduk. “Aku hanya bilang, Tuan Putri.”

Aku sedang duduk termenung di depan halaman rumah Ibu Tupai memikirkan strategi apa yang harus aku susun untuk menghilangkan kutukan Ratu Sihir. Mana mungkin aku bisa mengalahkan Ratu Sihir itu dengan tangan kosong seperti ini? Aku butuh sesuatu yang benar-benar bisa membuat Ratu Sihir tak bisa berkutik.
“Jangan khawatir, anak manis.” Tegur bidadari. Aku tak sadar telah berkali-kali menggosok kristal kalungku.
Aku menunduk. “Aku belum sekalipun pernah berperang, Bidadari. Apalagi harus melawan Ratu Sihir yang kau maksud itu.”
Bidadari tersenyum dan mendekatiku. “Kau tidak perlu berperang, sayang.” Jawab bidadari. “Kau hanya perlu membuat kutukannya itu berbalik kepada dirinya sendiri.”
Aku menghela nafas berat. Aku benar-benar harus mendatangi istana Ratu Sihir dan menghadapinya.

Setelah hampir seharian aku mencari istana Ratu Sihir bersama Rey dan Ibu Tupai, akhirnya aku menemukan istana itu. Dari luar istana itu tampak usang, gelap, dan menyeramkan. Banyak kelelawar yang bebas berkeliaran di sekitar istana.
“Siapa di luar?” suara seorang wanita menggema dari dalam istana.
“Itu suara Ratu Sihir.” Kata Ibu Tupai memberitahuku. Ia tahu aku belum pernah mengenal suara itu sebelumnya.
Aku bergidik. “Sepertinya dia seram sekali. Bagaimana dia bisa tahu ada kita di sini?”
Tiba-tiba angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan yang berserakan dan menyerangku bertubi-tubi.
Rey mendekatiku. “Dia hampir mendekat!”
“Hei, manusia! ada keinginan apa kau datang kemari?” suara wanita itu semakin dekat. Ternyata Ratu Sihir dan dua laki-laki pengawalnya sudah berdiri tepat di depanku.
Aku mundur dua langkah. Ibu Tupai tetap dalam posisinya. “Aku adalah utusan Raja.” Jawabku yakin.
“Lalu apa urusanmu denganku?” tanya Ratu Sihir garang.
“Aku ingin memintamu enyah dari sini!”
Ratu Sihir tertawa kencang mendengar jawabanku yang memang aku buat-buat. “Mustahil, anak kecil!”
“Kenapa? Kau juga sama sepertiku! Manusia yang lemah!”
“Tapi aku punya kekuatan yang tak kau punya!” Ratu Sihir itu tertawa.
Tiba-tiba muncul cahaya menyorot ke arahku yang berasal dari berlian mahkota yang ia pakai. Namun tiba-tiba cahaya itu berbalik dan mengenai salah satu pengawalnya dan merubahnya menjadi tikus putih yang gendut.
“Apa-apaan ini?” kata Ratu Sihir keheranan. Aku sendiri heran. “Apa yang kau pakai di lehermu itu?” tanyanya marah. “Itu kalung kristal kerajaan yang sangat aku inginkan!”
Aku melirik kalung kristalku. “Maksudmu ini?” “Kau mau menukarkan mahkotamu dengan kristalku?”
“Apa kehebatannya?” tanyanya penasaran.
Aku tersenyum. “Lebih hebat dari mahkotamu.”
Ratu Sihir hendak merebut kalung kristalku dengan mahkotanya namun selalu gagal.
“Sudahlah. Hentikan saja! Kenapa kau tak mengajakku dan kawan-kawanku masuk ke rumahmu untuk menukar senjata kita?”
Ratu Sihir terlihat sedang berfikir sebelum akhirnya memintaku masuk. Sementara ia menghilang, aku menggosok kalung kristalku di tempat yang tak bisa dijangkau Ratu Sihir.
“Kau butuh bantuan, anak manis?” tanya Bidadari.
“Sangat.” Aku melepas kalung kristal dari leherku. “Kau juga bisa sihir?” tanyaku pada Bidadari.
“Kenapa tanya begitu? Jelas aku bisa.” Jawabnya tersenyum.
“Kalau begitu buatkan aku semirip ini.”

Setelah aku menyimpan kalung kristalku di kantung dan memakai kalung kristal buatan Bidadari yang palsu, aku kembali dan menyusul Rey serta Ibu Tupai yang sudah mendahuluiku masuk ke dalam halaman istana dan bersama-sama masuk ke dalam.
Aku bersama kedua kawanku duduk di kursi meja yang berbentuk oval seperti telur. Di sana sudah menunggu Ratu Sihir dan kedua pengawalnya. Ternyata tikus putih tadi sudah berubah lagi.
“Lama sekali kalian?” tanya Ratu Sihir. “Jadi bagaimana, gadis kecil?”
“Seperti yang aku katakan. Kau akan mendapatkan kalung ini kalau kau juga memberikan mahkotamu.” Jawabku mantap. “Kau pasti sudah tahu, bahwa kalung ini jauh lebih kuat daripada mahkotamu, bukan?”
 “Kemarikan dulu kristalmu!”
 “Tidak! Sesuai urutan, karena kau dulu yang memintanya maka aku yang pertama kali mendapatkan mahkota itu!” jawabku tegas.
 Kemudian Ratu Sihir melepaskan mahkotanya dan meletakkannya di atas meja. Begitupun aku juga melepaskan kalungku dan meletakkannya di atas meja lalu berhasil mengambil mahkota emas milik Ratu Sihir yang dicurinya dari kerajaan.
 “Bagus!”
 Aku memakai mahkota itu dan berkonsentrasi untuk mengeluarkan cahaya berlian seperti yang dilakukan Ratu Sihir. Lalu tiba-tiba keluarlah cahaya itu dan aku gunakan untuk menghancurkan kalung kristal palsu yang sudah ada di genggaman Ratu Sihir.
 “APA?” teriak Ratu Sihir. “Kau menipuku! Kembalikan mahkotaku!”
 Aku mundur menjauhi meja dan menyingkirkan kedua kawanku dari Ratu Sihir. “Tidak akan!”
 Aku kembali berkonsentrasi untuk mengeluarkan cahaya dan berfikir keras untuk mengubah Ratu Sihir dan seluruh isi istananya. Kemudian keluarlah cahaya besar sebesar keinginanku dan berubahlah Ratu Sihir dan pengawalnya menjadi katak kecil dan hijau. Mereka mengeluarkan suara rengekan.
 “Aku tak peduli Ratu Sihir! Sekarang rasakan akibat perbuatanmu yang sudah lancang ingin merebut kerajaan dan mengubah negeri ini semaumu!”
 “Kau hebat, Nilly!” puji Rey.
 “Ayo kita pulang!”

 Setelah aku berhasil menghacurkan istana Ratu Sihir, aku kembali menuju istana raja untuk memngabarkan berita gembira ini. Dan di perjalanan pulang, aku kembali berkonsentrasi untuk mengubah Rey dan Ibu Tupai kembali menjadi manusia.
 “Terima kasih, Nilly.” Kata Ibu Tupai dengan gembira. Ternyata Ibu Tupai sangat cantik dan memiliki rambut hitam yang panjang dan lebat.
 “Terima kasih, Nilly!” kata Rey bersemangat. Begitu juga Rey. Dia benar-benar sangat tampan dengan mahkota dan baju istananya. Sepertinya aku tertarik olehnya. Oh, gawat!

 Begitu sampai di istana, aku, Rey, dan Ibu Tupai yang bernama Ibu Janett menemui Raja dan Ibu permaisuri. Ibu Permaisuri langsung histeris melihat putranya kembali tampan seperti semula.
 “Ini kau, Rey?”
 “Iya, Ibu!”
 “Nilly, kau adalah gadis yang sangat pemberani!” puji sang Raja.
 “Terima kasih, Raja!” jawabku tersipu malu.
 Setelah Raja dan Ibu Permaisuri siap, aku segera berkonsentrasi untuk menghilangkan kutukan di seluruh istana raja. Tak lama kemudian, berubahlah seluruh isi kerajaan. Ibu Permaisuri sangat anggun dan cantik. Begitu juga sang Raja, sangat mirip dengan Rey anaknya. Tak lupa juga dengan anak-anak Ibu Janet. Mereka sangat manis dan tampan. Mereka bernama Andy, Ben, Jenny, Maria, dan Bella.
 
 “Hei, Nilly! Maukah kau mengajakku mampir ke rumahmu?” tanya Rey. Ia mengajakku bermain di sungai yang ada di depan istananya. Aku jadi teringat dengan pintu yang membawaku kemari. Akupun kemudian mengajaknya berjalan menuju pintu itu.
 “Lihatlah Rey! Di sana adalah pintu menuju duniaku.”
 Rey mengerutkan dahinya. “Maksudmu, kau tidak tanggal di sini?”
 Aku menggeleng. “Tidak. Aku hanya tersesat.” Jawabku tersenyum.
 Kemudian aku mengajak Rey menaiki tangga menuju pintu kecil itu. Namun baru sampai anak tangga kelima, tiba-tiba hujan batu berjatuhan dan membuat kami terkejut.
 “REY!”
 Aku terbangun dan mendapati diriku sedang duduk di atas alas kardus di dalam gudang. Aku celingukan mencari di mana Rey. Kemudian aku menyingkirkan tumpukan kardus dan mencari pintu ruang bawah tanah itu dan ternyata tak ada.
 “Nilly ternyata kau di sini?” sapa seseorang.
 “Rey?”
 “Aku Robert!”
 Aku mengedipkan mataku dan mencoba menatap orang di depanku. Ternyata dia adalah Robert temanku. “Robert? Bagaimana kau bisa menemukanku?”
 “Aku mendengar cerita Mr. Brown dan berkata bahwa dia kehilangan jejakmu di sini. Dan aku berhasil lolos darinya!” jawab Robert kegirangan.
 Aku tertawa melihat tingkahnya.
 “Jadi kenapa kau tadi memanggil Rey? Siapa Rey?” tanya Robert penasaran.
 Aku menggeleng dan mendengus. “Sepertinya aku hanya sedang bermimpi.”

THE END

0 komentar:

Post a Comment