Monday, January 16, 2012

I'M CRYING, again.


Sebenernya aku ngga mau inget-inget kau terus. Sebenernya aku benci inget-inget kau terus. Tapi kenapa aku ngga bisa lupaken kau? Tapi kenapa aku ngga bisa benci sama kau? Aku masih sangat sayang sama kau, tapi kelakuan kau sangat amat MBENCEKNO!
AKU NANGIS LAGI! Gara-gara siapa? KAU!!

Sunday, January 15, 2012

DAMN !!!

I can't sleep (again). First; because I remember him, Second; because I have sick, and third; because I'm not wasting my medicine yet. Oh, God. -________-
Azam, berulangkali kau membuatku lelah memikirkanmu. Kenapa tidak kau biarkan saja aku hidup bebas tanpa mempertahankan perasaan yang menyiksa ini? Kenapa tidak kau hilangkan saja dirimu dari dunia ini agar dengan mudah aku dapat melupakanmu?
You do't even know this loveness really fucks me up! And unfortunately, why do I like being long here? Hey Boy! Yes, you! You bastard, please do not make me sick anymore! Could you please just go away from my life? I just wanna be safe without thinking of you anymore. -____- #so sad.

Friday, January 13, 2012

FILOSOFI CINTA


Cinta bukanlah seberapa banyak kita mendapatkan pengakuan dan kebaikan. Melainkan cinta adalah seberapa besar kita mengakui cinta itu dengan memberikan yang terbaik bagi orang yang kita cintai. Meskipun berjuta sakit akan kita terima, meskipun beribu liku harus kita tempuh. Namun cinta bukan paksaan yang memaksa kita melakukan itu semua. Karena itu semua atas dasar kesadaran.

Hujan masih turun begitu derasnya tatkala terang memberikan isyarat bahwa pagi telah datang. Namun hujan menghalangi sang mentari untuk keluar dari peraduan malamnya. Sehingga hanya bias-bias cahayanya yang tampak sedikit redup dari ufuk timur.

Dan hal itu tampak jelas mewakili suasana hatiku saat ini. Ketika kerinduan datang menetap dan menghantui sukma dan tak kunjung mereda. Ketika desakan kalbu yang memintaku untuk segera meluapkan rasa rindu itu. Dan ketika keadaan memaksaku untuk menahan itu semua.

Hujan telah membasahi dan membanjiri hatiku. Dengan rasa rindu yang menggebu-gebu yang aku sendiri tak tahu dari mana ujung dan sudutnya. Mentari sedang enggan menyapa hatiku. Bermuram durja dengan segala luapan rasa rindu yang sungguh menggelikan. Bukan. Bukan menggelikan. Malah terasa begitu menyakitkan di setiap sudut dinding-dinding hatiku.

“Apa yang sedang kau fikirkan?” satu suara membuat mataku berkedip enggan.

Aku mengedikkan bahu enggan menjawab pertanyaan Herman, abang bungsuku. “Bukan apa-apa.”

Herman menghela nafas panjang di sela-sela kepulan asap rokok yang baru saja keluar dari mulut dan lubang hidungnya. “Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan laki-laki itu.”

Aku menatap abangku dengan enggan dan mendengus kesal. “Bukan urusanmu, Bang. Sudahlah. Baiknya kau jauh-jauh dari sini. Aku mual dengan asap rokokmu.”

“Dasar perempuan. Sensitif terus bawaannya,”

Sesungguhnya yang menjadi kerinduanku selama ini bukan berarti aku sudah bertemu dengannya lalu berpisah dan belum bertemu hingga sekarang. Malahan, pun aku belum pernah menjumpai seperti apa rupanya hingga sekarang.

Lalu kau pasti akan bertanya-tanya, dari mana kerinduanku berasal.

Ah. Aku juga masih mencari-cari jawaban itu.

“Tertawa saja kau sampai puas, Marni!” ledekku kepada teman kerjaku setelah mendengar curahan hatiku tentang kerinduanku yang-mungkin-menurutnya aneh.

Wong ndak pernah ketemu kok bisa kangen-kangenan gitu?”

Aku mendengus kesal lantaran tertawanya yang terdengar mengejekku. “Aku sudah bersumpah, kalau suatu hari nanti aku pasti akan bertemu dengannya.”

“Tunggu, tunggu!” Sergah Marni dengan raut muka penuh tanda tanya. “Lalu bagaimana ceritanya kau bisa mengenalnya hingga sekarang?”

Aku menggeleng pelan. “Entahlah. Rumit kalau kuceritakan.”

Ya, hanya sampai di situlah pembicaraan kami.

Awal pertama kali aku mengenalnya adalah ketika ia mengirimiku pesan singkat yang isinya hanya tiga deretan huruf A, M, dan I. Yaitu namaku.

Dan didorong rasa penasaranku yang tak dapat kutunda pada saat itu, akupun membalasnya hingga pada akhirnya kita saling mengenal dan sampai sedekat sekarang.

Sore inipun ia meneleponku lagi.

“Ami,” suara lembutnya mendebarkan nadiku.

“Hm?” jawabku singkat.

“Kamu hebat banget bikin filosofi. Coba, kamu bisa nggak bikin filosofi tentang cinta?” ia menantangku.

Aku tertawa kecil menanggapinya. “Bisa.” Aku mulai menyusun beberapa rangkaian kata di dalam otak dan menyimpannya di dalam ingatanku. “Cinta itu bukan menghitung berapa banyak kita mendapat pengakuan dan kebaikan. Melainkan adalah seberapa banyak kita membuat pengakuan tentang cinta itu dengan memberikan yang terbaik bagi orang yang kita cintai.”

“Benar juga. Mungkin kamu mau berbagi denganku, tentang kedekatanmu dengan seseorang, sebelum aku datang.”

“Itu artinya kamu ingin aku menceritakan tentang masa laluku?” aku menghela nafas. “Bukankah kamu sendiri yang pernah bilang padaku? Bahwa mengungkit-ungkit masa lalu di dalam sebuah hubungan, akan memicu keretakan di dalam hubungan itu.”

“Memangnya seberapa istimewanya aku buat Ami?”

“Entahlah. Tidakkah cukup kalau aku menekankan kata ‘aku sayang kamu’ dengan lantang? Karena perasaan itu timbul bukan karena sebuah atau sepuluh alasan.”

“Terkadang alasan juga dibutuhkan, Ami. Ketika kita merasa tidak ada kata-kata lain yang akan kita jadikan sebagai bualan dalam sebuah hubungan.”

Aku tersipu mendengar lontarannya. Ia begitu pintar merangkai kata-kata yang dapat meruntuhkan segala argumenku. Namun bukan maksud untuk menjatuhkan, melainkan memperkuat argumen itu sendiri.

“Kalau kamu diberi kesempatan untuk membuat satu permohonan, apa yang akan kamu minta?” tanyanya membuyarkan diamku.

“Aku?” tersenyum lagi. “Aku akan memohon yang sesungguh-sungguhnya. Aku ingin bertemu dengan pujaan hatiku, entah itu sekarang atau suatu saat nanti.”

“Semoga permohonanmu dikabulkan.”

“Amin.” “Permohonan yang akan dikabulkan oleh sang Agung adalah permohonan yang lahir dan hadir dari lubuk hati yang paling dalam. Itulah permohonan yang benar-benar tulus.”

“Ami,”

“Iya…”

“Kalau aku sayang kamu, apa kamu sayang aku juga?”

Aku tersipu. “Ya. Seperti yang tadi kukatakan.”

***

PERSEPSI CINTA


Dengarlah kasihku, hati ini bukan untuk dipermainkan. Dengarlah sayangku, cinta ini bukan untuk dikhianati. Namun apa yang telah kaulakukan padaku mengajarkanku akan satu hal. Hal yang membuatku mengerti tentang sisi cinta yang tak selamanya indah seperti yang dulu menggelayuti angan sepiku. Angan indah yang nyatanya membuat rasa sakit yang baru saja kaugores semakin berdenyut di tepi-tepi hatiku.

Namun cinta ini suci. Namun cinta ini tulus. Namun cinta ini lahir atas dasar kuatnya asa dalam menerima semua keagungan dan kelemahan yang kaumiliki. Tak perlu kau peduli, tak peduli kau perlu, cinta ini akan setia menetap dalam satu naungan yang takkan pernah tergantikan keindahannya. Meski indah itu hanya terlihat di mataku, bukan di mata mereka.

Aku memang merasakan sakit yang menggebu itu. Atas dasar ketidakpedulianmu tentang luapan rasa ini. Aku memang merasakan kecewa yang amat sangat itu. Atas dasar pengkhianatan yang kauhempaskan. Namun aku hanya akan terdiam dan selamanya ingin diam menerima semua perlakuanmu. Karena cinta ini, dan karena ketakutanku akan kehilanganmu.

Jika sepasang bibir berkata bahwa cintaku sempurna, maka bibir itu perlu menelan kembali ludah yang telah dikeluarkannya sia-sia. Karena pada kenyataannya cinta ini pun tak berbalas. Bahwa cintaku bahagia, maka bibir itu harus mengatupkan diri rapat-rapat. Karena faktanya cinta ini berawal sedih dan takkan berakhir bahagia, meski hati ini memaksa.

“Cukup, Nurmala!” Bentak Adam. Ia geram menahan amarah yang menggemuruh di dasar jantungnya. Ingin ditamparnya sang kekasih yang dicintainya itu, namun apalah daya, ia sangat mencintainya. Bahkan tidak akan ia mengatakan ‘sangat mencintainya’ jika ada kata yang lebih pantas untuk menggambarkan perasaannya.

Nurmala terisak dibalik kedua telapak tangannya. “Maafkan aku, Adam. Aku tidak bisa membohongi hatiku.” Katanya, berusaha menahan tubuhnya agar tidak bergetar terlalu hebat.

Adam telah berada di puncak kemurkaannya. Dikepalkannya kedua tangan yang telah melebam akibat perkelahian sengitnya dengan lelaki yang mengencani kekasihnya tadi. Ia tak menemukan benda apapun di dekatnya. Andaikan ada, berdarahlah sudah kedua tangannya itu.

“Apa maksudmu memperlakukanku seperti ini, Nur?” kali ini suara Adam melemah seperti menahan tangis yang hendak pecah.

Nurmala hanya kuasa menggeleng dan terus bersembunyi dan terisak di balik kedua telapak tangannya.

Adam menghela nafas berat. “Kurang pantaskah cinta yang kutitipkan di dalam hatimu dua tahun yang lalu? Kurang pantaskah jika aku yang menjadi satu-satunya di dalam hatimu? Atau, cinta saja kurang cukup bagimu?”

Nurmala mulai menampakkan mukanya yang berlumuran air mata dan memerah semu. Ia menggeleng berat menanggapi tuduhan Adam yang tidak ia setujui. “Aku mencintaimu, Adam. Sungguh rasa itu tidak pernah sedikitpun berkurang dari dulu hingga detik ini. Aku bersumpah, Adam.”

Adam tertawa hambar. Ia merasa dipermainkan dengan sumpah yang baru saja Nurmala ucapkan lantang-lantang dan jelas terdengar hingga ke dasar telinganya. “Apa tadi kau bilang? Tidak berkurang sedikitpun?” pecah sudah tawanya. Menggelegar dan membahana seisi ruangan tak berbilik tempat ia dan Nurmala berseteru. “Lalu apa yang kau berikan kepada lelaki jalang itu? Apa namanya bukan cinta? Atau mungkin ada istilah lain?”

Nurmala yang semula duduk berjongkok di tepian danau-tempat ia dan Adam memadukan rasa rindu yang bertalu-dengan sorot mata terluka, perlahan berdiri lalu mendekati Adam. Hingga sepertinya tak lagi ada jarak antara mereka berdua. “Tidak ada. Tidak ada istilah lain. Aku memang mencintainya. Tapi salah jika kau bilang aku membagi-bagi cintaku pada kalian berdua!” setetes air mata keluar lagi dari matanya.

Adam mencoba menghindari tatapan Nurmala. Ia tersenyum sinis mengingat rahasia besar yang disimpan kekasihnya. Dan ia menyesal mengapa baru ia ketahui sekarang. Ingin rasanya ia meninggalkan Nurmala cepat-cepat tanpa peduli Nurmala akan mengejarnya atau malah membiarkannya. Akan tetapi sekali lagi, apalah daya, ia sangat mencintai gadisnya itu.

“Nur, kau tahu, aku sangat mencintaimu.” Adam lelah.

“Aku tahu sekalipun tak seribu kali kau mengatakannya, Adam.”

“Dan bagiku, kehadiran lelaki itu di tengah-tengah kita merupakan pengkhianatan yang benar-benar tak bisa aku toleransi.”

Nurmala kembali menitikan air mata. “Sungguh, Adam. Bagaimana caranya agar kau percaya bahwa cintamu tidak pernah kubagi?”

“Lalu?” Adam menahan geram.

Nurmala meraih tangan kiri Adam. “Ada dua cinta di sini.” Didekatkannya tangan itu tepat di detakan jantungnya. “Dan, Sayang, cintamu tetap utuh dalam hati ini. Sedikitpun tak ingin ku membaginya dengan siapapun kecuali hanya denganmu.” Nurmala tersenyum di antara tetesan air matanya.

“Nur,” suara serak seorang lelaki membuyarkan pertengkaran Adam dan Nurmala.

“Bi?” Nurmala tersentak melihat kehadiran kekasih rahasianya itu di tengah-tengahnya dan juga Adam. Ia tak berusaha beranjak dari sisi Adam, namun di sisi lain ia juga ingin mendekati Habi dan memeluknya erat. Meluapkan semua rasa cinta yang bergemuruh hebat di dalam hatinya.

Akan tetapi sungguh, Adamlah yang paling ia rindukan ketika ia pergi jauh ke alam mimpi. Bahkan saat ini, saat yang sangat nyata dan benar-benar terjadi.

“Semua harus diakhiri.” Adam membuyarkan Habi dan Nurmala yang larut dalam pandangan masing-masing. Ia mundur lebih jauh dari Nurmala. “Nur, kau tidak lagi seutuhnya menjadi kekasihku. Dan maaf, aku tidak dapat menganggap pengakuanmu itu masuk akal. Aku benar-benar tidak bisa terima.” Adam menatap Nurmala lekat. “Jika dua cinta dapat tumbuh dalam satu hati, sudah dari dulu aku membawa sepuluh wanita ke hadapanmu, Nur.”

“Dan kau tak mengerti seberapa miris hatiku ketika kau bilang cintamu sama sekali tak terbagi.” Adam mendengus pasrah.

“Nur, aku yang akan merelakanmu.” Habi tetap pada tempatnya.

“Merelakan? Untuk siapa, hah?” suara Adam mengeras. “Cukup! Dan aku tak lagi memerlukan cintamu.”

Perlahan langkah kaki Adam dan Habi memudar dari hadapan Nurmala. Tak dapat lagi ia meneteskan air mata untuk menangisi kepergian dua laki-laki yang telah menjadi dua sayap di balik punggungnya. Ia hanya dapat menatap kepergian mereka samar dengan tatapan sayu. Entah itu sakit atau sedih.

Dengarlah kasihku, tidak pernah sekalipun kukhianati cintamu. Percayalah, cintaku tetap utuh untukmu. Maaf bila kehadirannya salah bagimu. Namun aku membutuhkan perisai yang tak dapat kauberikan padaku, kasih.

Cinta sucimu tetap terjaga di dalam lubuk hatiku. Cintamu utuh, Sayang. Utuh dan akan tetap bersemayam selamanya hanya di dalam hatiku.

Aku tahu engkau sakit, aku mengerti engkau terluka, karena kau mengira bahwa aku telah membagi cintamu dengannya. Tapi demi Tuhan, rasaku untukmu tak pernah sama dengan rasaku untuknya.

Aku mencintaimu, kasih. Selamanya akan tetap seperti itu.

SKS CERIA

Bojonegoro, 6 November 2010


Ketika semuanya terbuai dalam mimpi indah. entah kenapa malam ini aku sangat terjaga. kulihat jam di layar PC-ku menunjukkan pukul 2:43 pagi. waktu yang cukup hebat, kenapa aku bisa bertahan tak tidur sampai sepagi itu? Padahal asal kalian tahu, besok aku harus ujian mata kuliah ILMU HUKUM. And it's really screamy, you know?
Kalau kalian bertanya, apa yang membuatku begadang hari ini, aku juga tidak tahu. JUJUR. Kalau memikirkan mantan pacar, aku kira itu hanya akan membuang waktuku sia-sia, toh sekarang aku yakin dia sedang tertidur pulas di kasur yang empuk bersama WANITA YANG DICINTAINYA itu. ^_____^ hahaha, tetap tersenyum lah.
Aku sebenarnya lagi ada masalah berat banget sekarang ini, tapi SORRY banget aku tidak bisa cerita ke kalian. Aku cuma minta do'anya saja, mudah-mudahan aku bisa secepatnya menyelesaikan masalahku ini. ^_____^ aamiin yarobb allahumma shali ala muhammad.

For someone who has been giving me this smile, I thank you for it buddy. I love love love you eventhough you'll never know about that. Because I know, you don't love me so. ^________^ But I'm happy enough when you said, "sayank", or "aku lagi kangen kau", or "saknoe". ahahahaha ^_______^ LOVE IT MUCH. Kapan aku bisa lihat kau langsung? :(