Sunday, March 21, 2010

AKHIR YANG ABADI (trilogy of ‘Billy’ku maling hatiku)

Baru pertama kalinya aku melihat kembang api tahun baru di rumah sakit. Rasanya berkesan, apalagi ada dia di dekat aku sekarang. Rasanya, kalau saja aku bisa menghentikan waktu, ingin sekali tubuhnya yang kuat itu aku peluk selama waktu berhenti; dan aku tahu itu sangat tidak mungkin.
Tidak bisa aku percaya, kedatangannya membuatku tidak bisa terus bertahan dengan prinsip konyol yang sudah semenjak ‘perceraian’ itu aku tanamkan di dalam diriku. Bertahan hidup tanpa orang lain. Dan sekarang aku sangat mmbutuhkannya.
“Kenapa lo murung gitu?” Tanyaku heran melihat Ocha menundukkan kepala di depanku.
Ia mendongak kaget. “Nggak pa-pa,” Ocha tersenyum sambil menggelengkan kepala. Lucu banget!
Aku meraih tangan Ocha yang memegangi roda kursiku. “Cha,”
“Hm?”
Aku menatapnya lekat. “Kapan ya gue bisa keluar dari sini?”
Ocha menatapku tajam dalam diam. Apa pertanyaanku terlalu sulit untuk dia jawab? atau ada yang dia sembunyikan dariku? Sudahlah. Aku tidak terlalu ingin tahu.
“Nggak akan lama lagi kok. Makanya lo cepet sehat!” jawab Ocha tersenyum. Tidak sebentar aku memperhatikan matanya. Ada bundaran hitam di sekitarnya dan matanya membesar. Kenapa sih? kali ini aku ingin tahu.
“sekarang lo istirahat aja ya! udah malem,” terlalu cepat dia mendahului pembicaraanku. Ya, aku batalkan saja niatku untuk menanyakan kondisinya selama aku koma.



Gila! mereka berdua ada di hadapan gue sekarang? sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi. Sudahlah. Mereka bersama pasti kebetulan saja karena ingin menjengukku, atau hanya ingin menunjukkan identitasnya sebagai ‘orang tua’.
“Gimana keadaan kamu Sayang?”
Aku memalingkan wajah ketika mamawanita jahat itumendekat dan hendak meraih keningku. Ruang rawatku terasa tegang sekali. Dan tentu saja menyesakkan.
“Bukan urusan kamu!”
Aku mengalihkan perhatian kepada papalaki-laki yang sedari tadi hanya diam memandangku. Aku tidak bisa menebak apa maksud ekspresinya dan bagaimana perasaannya sekarang ini. “Apa Papa ke sini mau nyuruh aku malak lagi? Cukup Pa! aku nggak mau lagi kerja kotor kayak gitu!”
Aku menutup mulutku, seperti ada yang tertahan di tenggorokanku; rasanya mengganjal sekali. Bahkan lebih buruk dibandingkan ketika aku sedang berusaha keras menelan daging ayam goreng.
“Uhuk..uhuk..”
Tanganku basah. Aku melihatnya dan ternyata ada banyak cairan merah di sana. Cairan kental yang membuat perutku mual dan kepalaku pusing karena baunya. Separah itukah penyakitku?
Mama menghampiriku lebih dekat. Dan aku membuang muka muak melihat wajahnya yang sok baik. “Kamu baik-baik aja kan Sayang? mulut kamu berdarah. Apa kamu udah minum obat?”
Aku menepis tangan mama yang hendak menyentuhku. “Bukan urusan kamu!”
Aku melirik mama, dan dia meneteskan air mata. Entahlah, kepalaku sudah cukup sakit untuk memikirkan itu tangisan sedih atau hanya karena dia ingin berpura-pura. Kenapa baru sekarang mama nangis? ke mana aja mama selama ini?
“Pagi semuanya!” sapa seseorang di ambang pintu. Dia datang di waktu yang tepat! senyumnya yang ceria membuat kepalaku lebih ringan.
Semua menoleh ke arah Ocha. Ternyata di belakangnya sudah berdiri Andin, adikku.
“Pagi kak!”
Aku tersenyum. Tapi bukan untuk kedua orang yang berada di hadapanku sekarang. Mana mungkin?
Dan akhirnya tanpa aku minta mereka berdua meninggalkan ruanganku. Aku perhatikan punggung mereka yang menjemukan itu. Ocha, segitu baiknyakah kamu sampai harus tersenyum kepada mereka ?
“Gimana keadaan lo?”
Aku memperhatikan Ocha dan Andin yang tengah berdiri di hadapanku dan mereka tidak memakai seragam sekolah.
“Apa?” tanya Ocha sekali lagi, bingung melihatku.
“Aku cuma lupa, ini hari apa ya?”



Udara pagi ini sepertinya lain. sepertinya aku sudah lama sekali tidak pernah merasa selega ini. Billy, ke mana aja lo?
“Hati-hati jalannya,”
Aku memperhatikan Ocha yang tergopoh-gopoh membantuku berjalan. Walaupun aku sudah menolaknya, dia tetap bersikeras membantuku. Gila! apa aku benar-benar selemah itu?
Bertahun-tahun, rasanya baru kali ini penyakitku menyusahkan orang. Dan kali ini orang itu adalah pacarku. Pacar pertamaku. Cinta pertamaku.
Aku memandangi rumah Andin; dan mama juga tentunya yang tetap tidak berubah semenjak aku masuk rumah sakit. Hanya saja, rumput di sekitar rumah semakin panjang. Apa Andin tidak pernah mengurusnya ? kalau mama sudah pasti tidak mungkin.

“Cha, gue rasa, ini leher musti dilepas deh!” aku menunjuk gips yang ada di leherku.
Ocha berkacak pinggang memelototiku. “Ya udah kalo nggak mau nurut aku panggilin dokter aja biar lo dibius sekalian!” tukasnya dengan muka masam.
Aku terkekeh mendengar ocehan dari suaranya yang melengking.
“Ye, malah ketawa lagi! aku serius nih!” seru Ocha berlagak galak.
Ocha hampir saja membalikkan badannya kalau saja aku tidak segera memegang lengannya.
Aku memeluknya erat dengan satu lenganku. “Iya sayang, aku nurut deh.” Akhirnya aku pura-pura menyerah.
Ocha melepas pelukanku untuk menatapku. Alisnya bertaut. “Aku?”
Aku sempat bingung sebelum akhirnya aku tertawa melihat reaksinya yang imut itu.
Kalau saja aku boleh berharap, kalau saja aku boleh meminta, Tuhan, biarkan aku melihatnya bahagia. Dia prioritasku. Dia yang lebih penting.

Ocha sibuk dengan acara menyiapkan makan malamnya bersama Andin. Ia bersikeras untuk memasak makan malam di rumahku. Aku saja belum sempat menanyainya apakah ia sudah minta ijin untuk mengurusku hari ini?
“Ssst, kamu diem aja di situ!” Ocha mencegahku ketika ia tahu aku akan mendekatinya. Yang pasti merepotkannya. Aku jadi tersenyum sendiri mendengarnya menyebutku dengan kata ganti kamu.
Ocha menoleh lagi. Menyadari. “Apa sih senyum-senyum?”
“Kamu cantik,”
Aku memperhatikan Ocha yang terdiam. Meskipun ia berusaha mengalihkan pandangannya, aku tahu ia ingin menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Udah dari dulu kali!”
Andin menanggapi jawaban Ocha dengan tertawanya yang khas. Begitu juga aku yang tertawa geli melihat Ocha semakin malu dengan kata-katanya sendiri.

Ketika aku ingin menikmati indahnya matahari sore, aku melihat Ocha terduduk di beranda. Dia menutupi mukanya dan sesenggukan. Aku sempat berfikir, apa aku sudah berbuat salah sama dia?
“Cha,” aku mendorong kursi rodaku lebih dekat dengan kursi Ocha. “kenapa nangis?”
Ocha buru-buru mengusap air matanya yang sudah berjatuhan. “Nggak pa-pa kok, Bill.” Jawabnya memaksa tersenyum.
“Oke lah kalo kamu nggak mau cerita!” kataku tersinggung. Kenapa dia nggak pernah mau curhat tentang masalahnya sama aku? Kenapa dia selalu diam dan diam?
Aku merasakan tangan Ocha menahan kursi rodaku. “Bill!”

Akhirnya Ocha menceritakan semua kenapa dia sampai menangis dan nggak mau cerita sama aku. Meskipun berat, namun itulah kenyataan. Aku terjangkit kanker darah.
Ocha masih terus sesenggukan melihat ekspresiku yang datar.
“Cha,” aku yang saat ini duduk di kursi beranda memeluk Ocha. Bisa kurasakan badannya bergetar dan bahuku basah terkena air matanya. “udah dong. Aku nggak pa-pa kok.”
Ocha hanya menggelengkan kepalanya di atas bahuku.
“Hidup atau mati kan udah urusan Tuhan. Kalopun harus mati sekarang aku nggak pa-pa kok.” Jawabku tertahan sesuatu yang berat mengganjal tenggorokanku. “Kalopun aku mati, yang aku takutin cuma kamu. Aku takut kehilangan kamu!”
Ocha melepas dekapanku. “Aku sayang sama kamu,Bill. Aku juga nggak mau kehilangan kamu.”
Aku mengusap air mata Ocha perlahan. Kenapa aku nggak siap dan nggak tega ninggalin dia?
“Cha, gimana kalo kamu ajarin aku jalan?”
Ocha terdiam menatapku. “Boleh aja!” jawabnya lalu tersenyum. Aku rasa senyumnya tadi nggak sedikitpun dibuat-buat. Bagus lah!

Ocha mengajakku belajar jalan di gang depan rumahku. Sore begini, mungkin udah sepi kendaraan. Lumayan bisa menghirup udara segar di sore hari.
“Oke Bill! Kamu tetap di sini, aku tunggu kamu di seberang sana, oke?”
Aku hanya mengangguk gugup. Setelah Ocha menyeberang, aku mencoba mengangkat tubuhku berpegangan dengan tangan kursi roda.
Satu kali, dua kali, tiga kali, aku gagal untuk mencoba turun dari kursi roda. Akhirnya aku menyerah dan Ocha menghampiriku. Ia menungguku dengan sabar sementara dia mencoba membantuku keluar dari kursi roda.
“Cha, udah ya! Capek.”
“Oke, kita istirahat sebentar ya!”
“Aku duduk di bawah gitu ya kayak kamu.” Kataku merengek.
Akhirnya aku berhasil membuat ocha tersenyum lagi. “Ya deh, aku bantuin.”

Aku membiarkan Ocha bersandar di bahuku. Aku tahu dia sangat khawatir dengan keadaanku. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Nggak ada yang bisa aku lakukan. Sama sekali nggak ada. Cha, maafin aku.
“Bill,”
“Hm?”
“Inget nggak waktu pertama kali kita ketemu?” Ocha menatapku dan kembali bersandar. “Konyol banget kan?” katanya tertawa.
Aku tersenyum menatap langit yang mulai gelap. “Nggak akan bisa lah aku lupa.”
“Pertama kali aku ketemu kamu, rasanya nyebelin banget! Jangan sampe deh ketemu orang kayak kamu lagi!” ujarnya tertawa. Tapi tertawanya seperti dibuat-buat. Tubuhnya bergetar di bahuku. Pasti mau nangis lagi.
“Tapi sekarang kamu jatuh cinta kan sama orang itu?” sindirku tertawa.
Ocha tersenyum menyeka air matanya yang hampir jatuh. “Sebelum gelap, kita latihan lagi yuk!”

Ocha membantuku berdiri dengan sekuat tenaga. Kali ini aku berhasil berdiri tegak meskipun Ocha nggak membantuku. “Cha, aku bisa!”
Ocha yang ada di seberang jalan bertepuk tangan menyemangatiku. “Ayo sekarang kamu coba jalan satu langkah aja, Bill!”
Aku mencoba saran Ocha. Tapi susah sekali menggerakkan kakiku. Rasanya seperti ada yang mencegahku dari bawah, dari depan, dan dari belakang. Tuhan, bantu aku!
Setelah aku bersusah payah akhirnya aku bisa mengangkat kaki kiriku. “Yes! Yuhuuuu!”
“Sekarang yang kanan, Bill!”
Sama seperti kaki kiri, kaki kananku malah lebih berat lagi untuk digerakkan. Mungkin karena sekarang posisi kedua kakiku nggak sejajar sehingga aku harus menyeimbangkan diri.
Tapi bukan Billy kalau harus menyerah di tengah jalan. “Yes!” akhirnya kedua kakiku kini sejajar lagi.
Ocha menghampiriku dan menghambur memelukku. “Akhirnya kamu bisa.” Tiba-tiba Ocha mencium pipi kiri lalu pipi kananku dan setelah itu keningku. “Sekarang coba jemput aku di sana, oke!”
Aku mengangguk mantap lalu Ocha kembali lagi ke posisinya semula. Kali ini kakiku nggak seberat pertama kali. Lebih mudah digerakkan meskipun tubuhku belum bisa menyeimbanginya.
Satu langkah, dua langkah.
“Terus Bill! Kamu bisa!” begitu terus yang aku dengar dari Ocha.
Tiga langkah.
Empat langkah, lima langkah.
“Ap, awas Bill! Mundur!”
Brruuuummm!
Aku tercengang mendengar deru mobil yang melaju kencang dari arah kiriku namun nggak sedikitpun membunyikan klaksonnya. Lampunya pun nggak nyala sama sekali. Yang terdengar hanya bunyi mesinnya yang ugal-ugalan seperti orang mabuk. Gila! Bisa mati gue! Kaki gue kenapa nggak gerak sama sekali?
Tiba-tiba ada yang mendorongku ke belakang membuatku jatuh terpental. Dan barulah mobil itu membunyikan klaksonnya kencang. Pandanganku kabur melihat mobil sedan hitam yang terus melesat itu. Namun aku masih bisa melihat nomor plat mobil itu.
“Bill, kamu baik-baik aja kan?” tanya Ocha lemah. Aku mencarinya dan ternyata ia jatuh terpungkur di tengah jalan dan darah berceceran dari belakang kepalanya. Tangannya penuh gores luka. Akhirnya Ocha nggak sadarkan diri.
“CHA!”
Aku mencoba menyeret tubuhku untuk menghampiri Ocha yang sudah nggak lagi mendengar suaraku. “Cha, bangun Cha!”
Begitu aku sampai di dekatnya, ternyata lebih parah dari dugaanku. Wajahnya tertutup oleh darah yang terus bercucuran nggak berhenti. Aku merobek bajuku untuk menutupi luka di dahinya. Nggak sempat berteriak minta bantuan, aku merogoh sakuku untuk mengambil handphone dan menelepon Andin.
Pandanganku semakin kabur. Kubiarkan handphoneku tergeletak begitu saja. Setelah itu, aku nggak tahu lagi bagaimana keadaan Ocha.



Aku membuka mata dan menatap langit-langit yang bercat hijau muda yang aku ingat itu adalah langit-langit ruangan rumah sakit. Tanganku sangat sulit digerakkan seperti aku sulit menggerakkan kakiku waktu aku belajar berjalan. Aku lumpuh.
“Kak?”
“An, mana Ocha?”
Andin hanya diam menatapku. Setelah aku menunggu jawabannya, tiba-tiba Andin menangis dan memelukku yang masih tertidur. “Yang sabar ya, Kak!”
“Kenapa sih, An?” tanyaku penasaran.
“Ocha baru aja diberangkatkan.” Jawabnya sesenggukan.
“Berangkat ke mana?”

Pemakaman sudah tinggal beberapa orang ketika aku datang. Di antara semua orang yang memakai baju hitam, aku sendiri yang memakai baju hijau rumah sakit. Aku masih melihat orang tua Ocha di pemakaman.
“Om, Tante.”
“Billy.” jawab Papa Ocha. Meskipun ia nggak sesenggukan seperti istrinya, ternyata ia juga mengeluarkan air mata. “Kamu yang sabar ya, Nak.” Kata Papa Ocha menghiburku.
“Semoga aja, Om.”
Sepeninggal orang tua Ocha, aku meminta Andin menungguku di mobil. Dan saat itulah air mataku tumpah. Karena aku paling nggak bisa menangis di depan banyak orang.
“Apa kabar, Cha?” tanyaku terbata-bata.
“Curang ya kamu! Kamu ngeduluin aku.”
Aku nggak bisa menggerakkan tanganku sama sekali untuk menggerakkan kursi rodaku lebih dekat ke makam Ocha. “Harusnya kan aku duluan.”
“Maafin aku,Cha. Gara-gara aku, kamu harus kayak gini. Tapi kamu lihat aku kan sekarang? Aku nggak bisa bergerak sama sekali. Aku nggak bisa apa-apa kalo kamu nggak ada di sampingku. Kenapa sih, Cha? Kamu nggak seharusnya…”
Aku nggak sanggup melanjutkan kata-kataku. Mungkin memang itulah yang terbaik untuk Ocha dan aku. Meskipun begitu, Ocha tetaplah cinta terakhirku. Yang nggak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Dan meskipun semua kisahku telah berakhir, semoga itu adalah akhir yang abadi. Dan menjadi awal yang sejati kelak untukku dan Ocha di sana.

0 komentar:

Post a Comment