Saturday, March 20, 2010

HUBUNGAN DIPLOMATIK INDONESIA-AUSTRALIA

Ketegangan hubungan RI-Australia akhir-akhir ini sekaitan dengan masalah Timor Timur telah menimbulkan beragam reaksi, baik di tanah air maupun di negara kanguru tersebut. Demonstrasi, ancaman dan tindakan embargo atau boikot ringan terjadi. Kedubes RI di Canberra serta konjen/konsulat lainnya di Australia telah menjadi sphere unjuk rasa dari berbagai kelompok masyarakat Australia. Ini juga termasuk penurunan/pembakaran bendera dan penolakan pelayanan kargo dan check-in bagi jasa penerbangan Garuda di sana. Namun, aksi balasan juga terjadi di Kedubes dan konsulat Australia di Indonesia. Ketegangan juga ditambah dengan keluarnya berbagai ancaman dan tindakan pemutusan hubungan dagang kedua belah pihak.
Dalam konteks ini, belakangan juga berkembang opini publik di tanah air bahwa hubungan diplomatik dengan Australia sebaiknya dibekukan saja. Bahkan pernah juga muncul spekulasi publik mengenai kemungkinan terjadinya perang antara RI dan Australia. Diakui bahwa ketegangan yang ada sekarang merupakan titik terendah dalam sejarah hubungan Indonesia-Australia sejak akhir 1940-an. Tulisan ini mengulas ups and downs hubungan kedua belah pihak, dan menyoroti perlu tidaknya pemutusan hubungan diplomatik itu.

Model "Roller Coaster"
Seorang pakar Indonesia berbasis Australia, Colin Brown, pernah menyebutkan bahwa hubungan Australia-Indonesia itu bagaikan komidi putar (roller-coaster), artinya bergerak berundak-undak atau berputar, sehingga jika ada langkah naik (upturn) yang dihasilkan akan diikuti oleh penurunan (downturn) lainnya. Pola hubungan yang erratic itu memang realitas yang tidak terbantah karena terjadi dari waktu ke waktu. Di masa awal perjuangan kemerdekaan, Australia pernah berjasa dengan dukungannya terhadap perjuangan Indonesia melawan penjajahan Belanda. Buruh-buruh pelabuhan Australia waktu itu ikut memboikot kapal-kapal pengangkut senjata dan amunisi milik Belanda yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan Australia.
Namun posisi yang bersahabat itu dimentahkan oleh naiknya partai Liberal dengan kepemimpinan Robert Menzies yang berbalik mendukung klaim Belanda. Politik partisan di Australia memang mempengaruhi perilaku dan respons politik negara tersebut terhadap Indonesia. Jika diperhatikan secara seksama, Partai Buruh (ALP/Australian Labour Party), cenderung lebih bersahabat dan lebih berempati terhadap realitas Indonesia sebagai negara baru maupun sebagai negara yang sedang membangun. Ini terbukti dari sosok Australia di bawah kepemimpinan Partai Buruh, baik oleh Gough Whitlam, Bob Hawke sampai Paul Keating, yang lebih bersikap konstruktif dan akomodatif.
Sementara pemerintahan konservatif Partai Liberal umumnya lebih bersifat kurang akomodatif, jika tidak kontradiktif, terhadap Indonesia dalam beragam kesempatan, termasuk dalam kasus Irian Barat dan Timor Timur sekarang ini. Jika di awal 1940-an, Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh pernah memboikot Belanda, di bawah kepemimpinan Liberal di bawah PM Howard sekarang buruh bandara justeru memboikot kargo dan pelayanan penerbangan Indonesia. Pemerintah Australia sekarang ini juga telah membawa ketegangan baru antara kedua negara karena masalah Timtim, bahkan dengan derajat yang lebih buruk.
Eskalasi ketegangan terutama bermula karena adanya mixed feeling dalam penyikapan terhadap pelaksanaan jajak pendapat (popular consultation) dengan kemenangan mencolok (78,5%) bagi kalangan anti-integrasi. Pihak Indonesia menengarai adanya kecurangan yang dilakukan pihak Australia lewat UNAMET, sehingga keabsahan hasil jajak pendapat dipertanyakan khususnya oleh publik. Sementara reaksi dunia internasional, khususnya Australia, justeru semakin mencurigai adanya rekayasa pihak Indonesia, misalnya melalui "kolusi" TNI dengan gerakan milisi, guna menganulir atau mementahkan hasil jajak pendapat tersebut. Ketika Indonesia kemudian menyetujui masuknya pasukan penjaga perdamaian ke Timtim, Australia pun, yang sejak awal memang telah menyiagakan 2000 pasukannya di Darwin, bersigegas masuk memipin pasukan multinasional Interfet itu, lengkap dengan kapal perang, tank ampibi dan perangkat militer modern lainnya.
Persoalannya, sikap cynical Pemerintahan Howard, yang memang menjadikan masalah Timor Timur sebagai konsumsi politik domestik di samping meletakkan dasar bagi peranan baru Australia di Asia-Pasifik, telah menorehkan luka dalam hubungan RI-Austalia. Ini juga diperburuk oleh arogansi pasukan Interfet asal Australia di Timor Timur. Malangnya, setback terburuk dalam sejarah itu tidak akan dapat tersembuhkan dengan seketika, padahal hanya beberapa waktu lalu Pemerintahan John Howard secara lantang mengatakan Indonesia sebagai the closest friend of Australia.
Public attitude dari rakyat Australia yang berlebihan, apakah karena faktor perbedaan budaya dan sebagainya, juga telah memperburuk keadaan. Ini termasuk posisi media massa Australia yang kerap dinilai memojokkan Indonesia secara tidak berimbang. Pada masa pemerintahan Suharto, kritik tajam David Jenkins atas kekayaan keluarga Cendana bahkan pernah menyebabkan hambarnya hubungan bilateral kedua negara. Namun, berbeda dengan dulu, ketegangan kali ini dapat semakin buruk dan kontra-produktif, apalagi bila manajemen ketegangan tidak dilakukan secara lebih rasional dan proporsional, khususnya oleh Australia. Lantas, mau dibawa kemana hubungan RI-Australia sekarang ini? Perlukah hubungan diplomatik dihentikan? Atau, bahkan, perlukah perang dicetuskan?

Pemutusan Hubungan Diplomatik?
Berdasarkan kajian historis diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan (action) yang dilakukan suatu negara vis a vis negara lain jika suatu konflik atau krisis terjadi (K.J. Holsti: 1971). Di antaranya adalah surat protes, denials/accusation, pemanggilan dubes untuk 'konsultasi', penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang. Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain.
Tentu saja untuk sampai kepada tingkat ketegangan berupa pemutusan hubungan diplomatik, apalagi perang, perlu ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya sebelum pengambilan keputusan yang bersifat drastis tersebut. Perang adalah kebijakan paling ekstrim yang dapat saja terjadi, namun tidak terjadi dengan begitu saja. Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi dapat saja berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap merupakan keputusan besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara ekonomis, politis bahkan pengorbangan darah/nyawa. Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena pertimbangan emosional.
Jangankan menyatakan perang, pemutusan hubungan diplomatik saja pun sebetulnya tidak akan memberikan manfaat yang berarti, melainkan sekadar bensin pembakar bagi nasionalisme yang emosional. Ada beberapa alasan yang dapat digarisbawahi dalam hal ini. Pertama, dalam konteks hubungan bilateral yang sober tindakan itu tidak perlu, karena dengan sendirinya akan memacetkan mekanisme formal yang representatif dalam rangka rapproachment atau perbaikan hubungan. Kedua, pemutusan hubungan diplomatik begitu saja juga akan merugikan postur Indonesia yang baru sebagai negara demokratis yang cinta damai dan rasional. Sikap emosional itu dapat saja mempurukkan RI ke dalam citra sebagai rogue state, yang pada zaman Orde Baru barangkali relevan, namun sekarang tidak. Setelah pelepasan Timor Timur, kita sudah berada pada a point of no return dan tidak perlu mundur lagi.
Tambahan lagi, ketiga, haruslah dipandang bahwa tingkat ketegangan yang ada sekarang ini masih belum memiliki kadar krisis yang tinggi, meskipun dalam kategorisasi Holsti dapat dianggap sebagai sebuah national honor conflict bagi Indonesia, sekalipun bagi Australia barangkali dipandang lebih sebagai promosi HAM. Ketegangan yang dirasakan di negeri ini banyak bernuansa ketersinggungan sebagai bangsa yang berdaulat, terlebih-lebih karena Indonesia justeru telah melakukan terobosan besar dalam menyelesaikan masalah Timor Timur itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan sikap cooling down oleh kedua belah pihak, dan Australia perlu melakukan inisiatif.
Sejauh ini, reaksi yang telah dilakukan pemerintah RI cukup proporsional, termasuk pelayangan surat protes (nota diplomatik), kritik keras Menlu Alatas dan tudingan Panglima TNI Wiranto, bahkan kecaman Presiden BJ. Habibie pada saat memberikan penjelasan mengenai kebijakan Timor Timur di DPR beberapa waktu lalu. Sikap protes RI juga semakin ditunjukkan dengan keputusan pengosongan jabatan Dubes untuk Canberra, ketika masa jabatan Dubes Wiryono kebetulan sudah berakhir, yang seharusnya digantikan oleh Dubes baru Arizal Effendi. Perlu digarisbawahi juga bahwa dibatalkannya the Australia-Indonesia Security Agreement yang ditandatangani pada Desember 1995 adalah respons yang keras untuk memukul kebijakan Australia yang berlebihan terhadap Timor Timur.
Kepemimpinan Howard sampai saat ini memang tampak masih tidak responsif terhadap reaksi Indonesia dan tetap memainkan kartu sebagai champion HAM sebagai gimmick untuk popularitas partai Liberal. Kebijakan barunya itu bahkan dibungkus dengan pencetusan strategi baru yang disebut Howard Doctrine, di mana Australia mencoba menempatkan diri sebagai "wakil" (deputy) AS di Asia Pasifik. Di lapangan, Doktrin ini ternyata diterjemahkan dengan sikap agresif Australia lewat pasukan Interfet di Timor Timur.
Tidak dapat disangkal bahwa kepemimpinan PM Howard tampak menyepelekan upaya-upaya keras kepemimpinan partai Buruh sebelumnya, khususnya Keating, yang telah bersusah-payah menegakkan bangunan diplomasi kedua belah pihak. Di akhir masa jabatannya, Keating bahkan berhasil mendorong Indonesia untuk menandatangani the Australia-Indonesia Security Agreement pada Desember 1995. Perjanjian itu merupakan terobosan besar, mengingat RI tidak pernah memiliki kesepakatan sejenis dengan negara mana pun, termasuk AS. Sekalipun substansi perjanjian itu lebih bersifat konsultatif, namun, seperti disinyalir Alan Dupont, keberadaannya telah membuat Australia merasa lebih comfortable, karena urgensi persepsi ancaman dari Indonesia telah lebih teredam. Ditambah dengan Agreement itu, Australia praktis memiliki ikatan kesepakatan keamanan dengan semua negara tetangga di sekitarnya (immediate neighbours).
Malangnya, Howard gagal memahami semua itu. Untuk membungkus kebijakan HAM Australia yang lebih agresif sekarang ini, Howard mengajukan rasionalisasi dengan logika a la partai Liberal: "the goal...is to do the right thing and not preserve a relationship at all costs". Namun dapat dipertanyakan apakah sikap overacting itu bersifat produktif atau malah di luar takaran yang semestinya, mengingat RI telah melakukan terobosan besar dengan penawaran dua opsi yang demokratis tersebut. Semestinya, Australia yang sampai sekarang pun gagal memenuhi tuntutan HAM dari penduduk asli Aborigin, dapat memainkan peranan yang lebih cantik tanpa harus mengorbankan kepentingannya dalam memperjuangkan HAM. Semestinya Australia, yang sejak tahun 1985 telah mengakui secara de jure Timor Timur sebagai provinsi Indonesia, menyadari bahwa penyelesaian konstruktif masalah Timtim membutuhkan diplomasi dengan kepala dingin, bukan saling lontar kecaman pedas. Sebab, sebetulnya tekanan berlebihan Pemerintahan Howard terhadap Indonesia lebih merugikan kepentingan nasional Australia sendiri, khususnya dalam jangka menengah dan panjang, dan bukan sebaliknya.

Kerugian Australia
Terlepas dari konteks Timor Timur, dalam jangka panjang dan dalam range kebijakan yang lebih kompleks, Australia sebagai enclave kulit putih yang tak putus-putusnya mencari identitas diri di halaman belakang wilayah bangsa Asia, memiliki kepentingan besar untuk mengamankan hubungan baik dengan Indonesia. Kerugian pertama, sikap overacting Australia terbukti telah memperteguh solidaritas terhadap Indonesia khususnya di kalangan ASEAN, dan ini merupakan kartu kuat di Asia-Pasifik, baik dalam format hubungan sebagai mitra wicara (Dialogue partner) ASEAN, ASEAN PMC+1 (Australia) maupun fora lain yang berintikan ASEAN seperti ARF, bahkan APEC. Jika sebelumnya Indonesia selalu mendukung aksesi Australia dalam Asia-Europe Meeting (ASEM), wajar saja jika ke depan dukungan itu akan dibatalkan.
Kerugian kedua, retaknya hubungan kedua negara secara alamiah akan mendorong sensitivitas Indonesia terhadap agenda politik Australia di Timor Timur di masa-masa mendatang, sekalipun Indonesia tetap tidak akan menempatkan Australia sebagai faktor ancaman yang critical dalam strategi pertahanan/keamanannya. Oleh sebab itu, alih-alih mendorong terciptanya stabilitas dan confidence-building, sikap agresif pemerintahan Howard sebaliknya telah memicu ketegangan baru, yang akan mempengaruhi rasa keterancaman atau threat perception Australia sendiri. Soalnya, dalam situasi mesra sekalipun, Australia masih selalu menempatkan Indonesia sebagai immediate threat, yakni ancaman dari utara, terhadap keamanan nasionalnya. Ini terbukti, misalnya, lewat the 1986 Dibb Report dan analisis keamanan lainnya yang menempatkan Indonesia dan RRC sebagai faktor ancaman bagi Australia. Karena ketegangan hubungan kedua negara sekarang ini, dengan sendirinya negeri kanguru itu secara tidak bijak telah mempertajam strategi pertahanannya yang paranoid, apalagi Security Agreement telah dibatalkan.
Sekalipun dalam konsepsi forward defense yang dulu ataupun ambisi strategis dalam kerangka Doktrin Howard dengan perhitungan bahwa Timor Timur akan menjadi buffer zone atau bahkan basis militer bagi Australia, langkah itu tentu saja tidak akan memiliki efektifitas yang berarti, kecuali jika Australia mampu mendorong AS membangun pangkalan militer sendiri di tanah Loro Sae. Namun membaca dari sikap AS yang lebih lunak terhadap Indonesia, meski telah memutuskan bantuan IMET (International Military Education and Training), AS tampaknya benar-benar menempatkan Timor Timur, seperti kata Noam Chomsky, sebagai Haiti-nya Australia. Dengan kata lain, Timtim hanya akan menjadi masalah "halaman depan" Australia.
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas saja, perbaikan hubungan RI-Australia ke depan sudah semestinya lebih merupakan tanggung jawab Australia, ketimbang Indonesia. Secara realpolitik, Indonesia memiliki kartu menang, asalkan dimainkan dengan strategi yang baik. Bagaimanapun kita tidak memerlukan Australia seperti Australia memerlukan Indonesia. Di samping itu, yang menorehkan luka adalah Australia sendiri. Ketegangan kedua negara sekarang ini, yang dalam ungkapan mantan Menhan Kim Beazley (Partai Buruh) telah merusak "40 tahun upaya (diplomatik) yang baik", dengan sendirinya mementahkan kembali upaya pembangunan identitas regional Australia yang independen di wilayah Asia. Artinya, Howard tengah memicu ketegangan regional yang lebih besar vis a vis negara-negara tetangganya di Asia. Sejarah akan mencatat betapa rakyat Australia akan menyesali kebijakan Pemerintahan Howard sekarang ini.

http://agustianwar.multiply.com/journal/item/33

0 komentar:

Post a Comment