Monday, March 22, 2010

CINTA TANPA AKHIR (trilogi of 'Billy'ku maling hatiku)

Gubrak!
“Aduuuh!”
Lho? Bukannya tadi aku lagi asyik nonton konsernya J-Rocks ya? Kenapa malah jatuh dari kasur begini? “Aaaah! Cuma mimpi!”
Aku mengguncang-guncangkan kepalaku yang masih setengah sadar. Baru setelah aku benar-benar sadar, aku terkejut melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 06.10.
“Oh my God!”
Aku mendengar pintu kamarku diketuk-ketuk. Kalau aku hitung, kayaknya sebanyak tujuh kali ketukan ya? Aduh nggak penting banget deh!
“Vera, mentang-mentang lagi libur jadi telat bangun?” seru mama dari luar kamarku dengan suaranya yang melengking keibuan. Dan kau tahu kan apa yang dimaksud mama tentang ‘libur’? tuh kan? Nggak penting lagi deh! Aku pasti bakalan telat ke sekolaaaaah!!!

Setelah rapi dengan seragamku, aku menyisir rambut pendek ‘ala dora’ku seadanya dan menaburi mukaku dengan bedak bayi favoritku tanpa sedikitpun melirik bagaimana keadaan mukaku di kaca. Buru-buru aku mengambil tas sekolah dan sepatuku lalu turun ke meja makan.
“Jam berapa nih, Ma?” tanya Robby, adikku dan aku tahu dia sebenarnya ingin menyindirku yang kesiangan. Huh, dasar adik yang nggak berbakti dan nggak berbakat! Uhh, apa hubungannya sih?
“Terserah lo deh! Gue lagi nggak mood tengkar sama lo!”
Setelah aku meneguk susuku sampai habis dan menyimpan dua helai roti selai kacang ke dalam kotak bekalku, aku langsung menyalami mama dan papa.
“Ma, Pa, aku berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab mama dan papa bebarengan.
“Hati-hati ya.” Ujar mamaku yang paling dan super duper cantik itu. Hhmm, andaikan aku secantik itu. Nggak tahu deh aku ini mirip sama siapa? Kalau temen-temenku bilang sih aku nggak ada mirip-miripnya sama mereka berdua. Tapi DNA dan golongan darah membuktikan bahwa aku adalah anak kandung mereka. Pernah aku sampai dimarahin cuma gara-gara membahas aku ini anak kandung atau anak angkat?

Welcome to my High School! Aku segera dan segera buru-buru nyerobot gerbang sekolah yang sudah hampir ditutup sama Pak Satpam. Aku melirik jam yang ada di pos satpam dan memang jam masuk sudah lewat hampir lima menit.
“Halah! Telat mulu nih anak gedongan!” sindir Pak Satpam sambil menyisir kumis tebalnya yang ada di bawah hidung. Aduh, apa nggak geli ya punya kumis setebal itu?
Setibanya aku di kelas XI IA 2, guru terkiller nomor dua di sekolah ini sudah siap dengan spidolnya. Ya, kau belum tahu kan? Hukuman buat mereka yang telat adalah menjawab soal yang ada di papan. Dan kau tahu dia guru apa? Kimia!!!
“Permisi, Bu!”
“Cepat letakkan tas kamu dan kerjakan soal nomor dua!” seru Bu Mira dengan lantang dan membuat semua teman-temanku menunduk ketakutan. Aduh, nyantai aja kenapa sih? Dia kan juga manusia gitu!
“Jadi tadi ada yang telat juga dong, Bu?”
“Banyak nanya ya kamu tuh! Cepat letakkan tas kamu dan kerjakan soalnya!”
“Santai, Bu! Nanti keriputnya nambah lho!”
Aku segera meletakkan tasku dan maju ke depan ketika Bu Mira sibuk membenahi mukanya di depan kaca kecilnya. Uhh, kena aja tuh guru dikerjain? Dasar!
Nggak ada lima menit, soalku sudah selesai dan Bu Mira masih terus berkutat dengan kacanya. “Sudah Bu! Lanjutkan!” ujarku menirukan gaya motto seorang calon presiden.
Aku sempat mendengar Bu Mira berdeham. Huu, udah tua aja belagu!

“Telat mulu lo!” bentak Benny, teman sebangkuku dengan berbisik. Takut ketahuan Bu Mira ya?
Aku menjulurkan lidah ke arahnya dan bersedekap tenang memperhatikan Bu mira yang sibuk menggeal-geolkan pantatnya di depan papan tulis. Aku yakin semua cowok nggak konsen sama pelajaran tapi konsen sama pemandangan gratis di depannya.
Aku menyikut lengan Beni.
“Apa sih?” tanya Beni kesal.
“Ada tontonan gratis tuh di depan!”

Sepulang sekolah, aku nggak lupa mampir ke rumah sakit seperti sebulan sekali yang aku lakukan untuk mengecek keadaanku pasca operasi jantung. Hah??? Kau belum tahu? Aku dulu sebelum sesehat ini mengidap penyakit jantung yang aku nggak tahu apa namanya. Kalau kau tahu, kasih tahu aku ya!
“Udahlah kak. Turutin aja apa kata Dokter!”
Aku mendengar suara seorang cewek yang sedang membentak seseorang. Sabar dong buuuk! Nanti cepat tua lho.
Akhirnya aku berhenti melihat perdebatan di depanku karena aku sungkan mau lewat di depan mereka berdua.
“Percuma An! Nggak akan ada hasilnya! Itu kan cuma biar bisa menunda kematian kakak!”
Akhirnya dua orang kakak beradik itu berhenti berdebat melihat aku terpaku di depan mereka. Si adik yang dipanggil ‘An’ tadi masuk ke dalam ruangan. Ruangan apa ya?
“Sorry.” Kataku kepada cowok yang memakai kursi roda itu. Dilihat dari mukanya yang pucat dan badannya yang sama sekali nggak bergerak, sepertinya penyakitnya sangat parah.
Cowok itu hanya tersenyum. Adududuh, senyumnya itu lho! Hangaaat gitu! Kayak selimut.
Akhirnya aku berbalik dan memutuskan untuk melewati jalan yang lain. aku kan nggak mau jadi salting di depan cowok seganteng dan secool itu. “Besok mampir lagi ah!”

Ahhaaaa, aku berhasil menanyakan nama cowok tadi ke dokter yang merawatku. Ternyata namanya Billy. Uhh, pas banget namanya sama rambutnya yang keriting. Hah? Apa hubungannya ya? Aku juga sempat menyanyakan kenapa dia ada di rumah sakit ini? Ternyata dia mau menjalani terapi kanker darahnya.
“Kasian banget. Semoga cepet sembuh.”
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan menyusun rencana untuk besok ketemu lagi sama pangeran Spidermanku. Hah? Sejak kapan Spiderman jadi pangeran ya?
***
“Mama, mama tahu nggak?
“Tahu apa sih, Ver?” tanya mama penasaran. Saatnya curhat!
Aku tertawa malu. “Tadi aku ketemu sama pangeran ganteng banget deh Ma di rumah sakit. Tapi dia kena sakit parah gitu Ma. Kasian banget ya!”
Mama tetap sibuk dengan rajutannya. Ih, nyebelin deh. “Udah sempet kenalan belum?”
Aku menggeleng. “Tapi aku tahu namanya siapa. Coba Mama tebak siapa namanya?”
“Mana Mama tahu?”
“Iiih, Mama nih nebak aja Suparno kek, Bejo kek, apa gitu?” sergahku kesal.
“Emang namanya sejelek itu ya?” tanya Mama cuek.
“Ah! Mama nih nggak asik!” kataku lalu bersedekap angkuh. “Namanya tuh Billy,Ma!”
“Tahu dari mana? Katanya tadi belum kenalan?”
“Adududuh, Mama nih banyak banget nanyanya!” aku memegang kepalaku karena gemas. “Dari Dokter Edo. Udah ah! Mama nggak asik diajak curhat kalo lagi sibuk gitu!” ujarku lalu pergi meninggalkan Mama yang masih tetap cuek bebek nggak menanggapiku. Uuh, Otot kawat tulang remuk! Selamat bersibuk-sibuk!

Ya Tuhan, apa tadi aku ketemu sama Billy itu cuma kebetulan atau semacamnya? Ah, meskipun kebetulan, aku bersyukur banget bisa ketemu sama Billy. Eh, tunggu, tunggu! Apa ini? Jangan-jangan aku lagi terlibat dalam cerita cinta pada pandangan pertama?
“Fokus! Konsentrasi!”
Aku kembali menatap buku tugasku dan mengerjakan PR matematikaku. Gawat kalau sampai mama tahu aku ngelamun waktu lagi belajar kayak gini. Bisa sejam ngomelnya, beh! Batang hidungku udah nggak kecium aja masih kedengeran kok ngomelnya.
“Ver, Mitha datang tuh!” bentak Robby dari luar kamarku. Aduh! Ngagetin aja sih tuh anak?
“Lebay lo anak kucing!”
Mau tahu kenapa aku memanggil adikku seperti itu? Karena anak sekecil dia, kelas tiga SMP udah punya kumis kayak bapak-bapak. Ah, jadi inget Pak Satpam di sekolahku!
“Ver, gue masuk ya!”
“Oke!”
Aku memang sengaja janjian sama sahabatku Mitha untuk belajar bareng dan mengajaknya menginap di rumahku sampai besok. Kita memang sering bergantian nginep seminggu sekali. Minggu ini dia yang ke rumahku, minggu depan aku deh yang ke rumahnya.
“Udah sholat belum, Mith?” tanyaku membuka tema. Haaa???
“Udah. Lo sendiri?” jawabnya sambil mengeluarkan buku tugasnya.
“Urusan pribadi.”
Mitha mencibir. “Hmmm, pantes lo sering telat! Dasar kebiasaan jelek!”
“Suka-suka gue dong!” jawabku sambil tertawa penuh kemenangan yang nggak ada fair playnya. Apa sih? Apa sih? Nggak nyambung.
“Okelah kalo begitu! Mari kita selesaikan misi kita malam ini!”
***
Untuk kali ini, aku menraktir Mitha makan es krim di café langgananku di dekat rumah. Bisa dibilang tetangga gitu deh. Aku paling suka es krim vanillanya yang dicampur bundar-bundar coklat yang rasanya nyessss!
“Mith, lo tahu nggak? Lusa kemarin gue ketemu sama cowok gaaanteng banget di rumah sakit!”
Hmm, bisa kau bayangkan sendiri bagaimana ekspresiku saat ini.
“Lanjutkan!”
“Rambutnya keriting gitu, Mith! So sweet banget!”
Mitha menyeruput sendokan es krimnya yang kedua belas (mungkin). “Kayak Giring gitu ya?”
Aku memutar bola mata. Mitha sama aja sama mama. suka nyebelin kalau diajak curhat waktu lagi sibuk kayak gitu. “Mitha!”

“Eh, eh, Mith!” aku memegang kepala Mitha dan memutarnya ke kiri. Saat ini aku sedang mengajanya jalan-jalan sore mengelilingi kompleks. “Itu dia yang aku maksud Billy! ganteng kan? Ternyata dia tetangga kompleks gue ya? Kenapa nggak dari dulu aja gue hobi jalan-jalan ya?”
“Oh, jadi itu? Ngomong-ngomong, lo tadi nggak cerita kenapa dia pakai kursi roda gitu?” tanya Mitha. Oh, untunglah sekarang dia lagi nggak sibuk! Kalau sibuk, aku pasti udah dicuekin lagi kayak tadi.
“Katanya dokter yang ngerawat gue, dia itu menderita kanker darah.”
“Serius lo? Kasian banget?”
“Aduh gawat! Dia ngelihat kita!” aku gugup setengah mati waktu Billy menyadari kalau dia sedang dalam pengintaian. “Lo sih, kenceng amat ngomongnya?” kataku berbisik.
“Kalian nyari Andin ya?”
Omigod, suaranya keren banget! Tersenyum lagi.
“Nggak kok, Mas! Ini nih”
Aku membekap mulut Mitha sebelum ia benar-benar melanjutkan kata-kata yang sudah bisa aku duga.
“Masuk aja. Nggak pa-pa kok.” Sahut Billy di depan teras rumahnya. “An, ada yang nyariin tuh!”
‘An’ adalah sapaan yang seperti Billy katakan di rumah sakit. Oh, jadi ternyata ‘An’ itu Andin gitu ya? Haduh, Billy nyadar nggak ya kalau dia pernah ketemu aku di rumah sakit?
“Ver, kesempatan nih!”
Akhirnya dengan berat hati aku mengikuti Mitha yang sudah mendahuluiku masuk ke dalam rumah Billy yang didominasi dengan cat berwarna pink. Bunga-bunga liar tumbuh di sekitar halaman Billy. wow, apa itu bunga favoritnya ya?
“Duduk dulu aja. Mungkin Andin masih nyiapin minum.” Kata Billy. Masih dengan senyum manisnya. “Kamu yang waktu itu di rumah sakit ya?”
Aku hanya sanggup mengangguki pertanyaannya. Dan sedikit tersenyum biar Billy menangkap kesan pertama yang bagus tentang aku.
“Namanya Vera, Mas!” sahut Mitha yang sudah asyik duduk di kursi teras. “Duduk dong, Ver!”
“Siapa Kak? Temen? Aku mau pergi dulu ya.” Adiknya yang bernama Andin itu baru saja keluar dengan mengenakan gaun putih susu lengkap dengan tasnya. “Maaf ya, aku tinggal dulu.” Katanya padaku dan Mitha. Sekilas kalau diperhatikan, senyumnya sangat mirip dengan Billy. Untung aja rambutnya nggak keriting juga.
“Lho An, bukannya ini temen kamu? Kok ditinggal sih?”
“Kita bukan temennya kok, Mas!” sahut Mitha (lagi).
Billy mulai kebingungan menatapku dan Mitha bergantian. Dia semakin bingung melihat adiknya yang nyelonong pergi gitu aja. “Terus kalian siapa?”

Lalu dengan santainya Mitha menceritakan semua yang sudah aku ceritakan padanya. Benar-benar membuatku malu dan salting amit-amit. Awas aja lo nanti di rumah!
Billy tertawa terbahak-bahak melihat gaya bicara Mitha ketika menceritakan semuanya. “Jadi gitu? Salam kenal ya, Mitha, Vera!” ujarnya masih tetap dengan tertawa. Andaikan aku mau dan nggak malu, udah aku potret wajahnya saat ini.
Namun sampai pada saatnya aku dan Mitha harus pulang, Billy lebih banyak ngomong sama Mitha dan menceritakan semua hal tentang Mitha tanpa melibatkanku dalam pembicaraan. Paling-paling cuma dimintai persetujuan, “Ya nggak Ver?” “Ya kan Ver?” “Masa sih Ver?” “Beneran Ver?”. Dikacangiiiin!!!!
“Kita pulang dulu ya, Mas!” pamit Mitha.
“Makasih ya udah pada nemenin aku. Besok maen lagi juga nggak pa-pa!” jawab Billy bersemangat menatap Mitha.
Setelah Mitha dan aku melambaikan tangan, akhirnya waktunya pulang pun tiba. Aku mengecek jam di handphoneku ternyata sudah hampir jam enam sore. Sudahlah, mungkin memang salahku yang nggak bisa ngomong di depan Billy. bukan salahnya Mitha juga kalau Billy suka sama dia, bukannya sama aku.
“Lo mikirin apa sih? Udah ketemu Billy bukannya seneng malah mukanya ditekuk gitu?”
“Kayaknya lo deh yang ngebet banget ketemu sama Billy.”
Aku perhatikan Mitha jadi salting. Huuuh, jangan sampai deh aku jadi korban teman makan teman.
***

Seminggu ini aku perhatikan Mitha mulai jarang main sama aku. Aku juga perhatikan dia suka senyum-senyum sendiri di kelas. Lagi mikirin apa sih tuh anak? Jangan-jangan mikirin Billy ya?
Huh, nyebelin banget deh! Tahu nggak sih, sewaktu aku pulang dari mini market tadi, aku lihat Mitha berduaan lagi sama Billy!!! dasar jahat!
“Mitha tuh gimana sih? Udah tahu aku suka sama Billy, kenapa dia deketin Billy terus?”
Aku menghentak-hentakkan kakiku karena sebal. Tapi, andaikan aja aku berani ngomong sama dia! Kata orang aku ini cerewet, tapi kok kalau di depan Billy semua kecerewetanku hilang ya? Padahal itu bukan maksudku untuk nampang sih.
Lagi asyik-asyiknya aku berbaring di kasurku yang bercover keropi ini, tiba-tiba handphoneku berbunyi nyaring. Oh, no! nomornya baruuuu!!!!
“Halo?”
“Hai!” sapa si penelepon di seberang sana. Tunggu dulu deh! Suara siapa ya? Kayaknya aku pernah denger tapi di mana ya? Hhhuuuh, resiko orang pelupa!
“Ini siapa ya?” tanyaku ragu-ragu. Aku nggak berharap banget yang meneleponku adalah orang suruhan yang mau bilang kalau aku menang undian berhadiah semilyar atau semacamnya. Kau tahu kan? Di awal tadi aja udah bilang, “Hai!”
“Hei, aku Billy. yang kemarin.”
Tuuuuh kan?????????
“BiBilly?”
Aduh, kenapa jadi deg-degan ya?
“Iya. Kamu bener Vera kan? Kamu lagi ngapain?”
Aku berdeham sebentar dan tersenyum santai untuk menjawab pertanyaan Billy. “Bener kok ini Vera. Aku lagi mikirin kamu.”
Oooops…… Veraaaaa kau bodoh!
“Oh ya?” jawab Billy sambil tertawa. Apa dia malu? Atau nganggep perkataanku tadi cuma becanda??? “Boleh nggak kapan-kapan aku main ke rumah kamu?”
“Kamu? Main ke rumah aku?”
“Iya.” Suara Billy terdengar gugup. Oh, oh, oh, jangan Ge-Er dulu, Ver!
“Tapi kamu kan”
“Aku sama Andin kok. Jangan kuwatir. Oke, udah dulu ya! Secepatnya aku main ke rumah kamu. Nanti aku pengen ketemu sama semua keluargamu.”
“A”
Tuut tuut tuut!
“Kok mati sih?”
Aduh, Billy tuh tadi beneran nggak sih? Bentar deh, aku mau cubit pipiku dulu. Kali aja aku ini lagi mimpi atau ngelamun atau berkhayal.
“AAAW! Sakiit,”
Berarti nggak mimpi dong?
***
“Jadi kalian satu sekolah? Satu kelas juga?”
Begitu Billy sampai di rumahku, dia langsung mengajakku ngobrol tentang bagaimana sekolahku? Bagaimana teman-temanku? Dan sampai pada Mitha. Dan kau tahu gimana raut mukanya ketika sedang asyik membicarakan Mitha? Dia sangat amat sumringah.
“So, kenapa kamu nggak tanya aja langsung sama dia? Kenapa kamu malah telepon aku minta ketemuan dan cuma untuk ngomongin soal Mitha?”
Aku meninggalkan Billy dan juga adiknya yang masih dibuatkan minum sama mama. Terserah deh mereka mau pulang atau mau nginep di sini?

Minggu ini aku ke rumah sakit lagi untuk cek darah atau apalah namanya aku juga kurang tahu. Kau cari tahu saja sendiri ya di internet atau sebangsanya gitu.
Dan lagi-lagi aku ketemu Billy. kali ini dia nggak sedang berdebat dengan adiknya. Dia lagi sendirian dengan tatapan kosong. Pasti berat banget kalau harus kayak Billy.
“Bill,” aku menyapanya dari kejauhan. “keberatan aku ke sana?”
Billy hanya menggeleng. Tanpa tersenyum.
“Mau apa, Ver?” tanya Billy tanpa sedikitpun memandangku.
Aku duduk di kursi taman tempat Billy duduk. Ia menanggalkan kursi rodanya. “Biasa lah.” Jawabku datar.
Kali ini Billy tertawa renyah. “Biasa gimana? Kamu tuh kayak ngomong sama mama kamu aja? Aku kan nggak tahu kamu biasanya ngapain?”
“Cek darah kali ya? Aku kurang tahu.”
“Emang habis sakit apa?”
“Jantung.”
Billy hanya manggut-manggut nggak jelas. Matanya tampak sayu. Pasti ada sesuatu yang bikin dia resah. Atau pasti ada sesuatu yang membuatnya penasaran? Atau apa?
“Kamu nungguin Andin?” aku mencoba berbasa-basi.
“Ya, dia masih kuliah. Dia jemput aku sore nanti. Terus, kenapa kamu nggak langsung aja?”
“Kayaknya dokter Farrel belum dateng.”
Akhirnya aku menemani Billy sampai adiknya datang dan barulah aku menemui dokter Farrel untuk tujuan utamaku pergi ke rumah sakit. Jangan sampai mama marah soal ini.
“Makasih ya, Ver! Aku pulang dulu.” Seru Billy.
Disusul adiknya, “Duluan ya Ver.”

Entah kenapa, rasa khawatirku semakin menjadi akan keadaan Billy. Aku selalu ingin ada di dekatnya dan menjaganya meskipun aku tahu bukan aku yang dia butuhkan. Aku sadar, apa perasaan yang sedang bergelayut dalam hatiku. Namun aku belum siap menerima penolakan dan diacuhkan. Aku belum siap jujur apa sebenarnya perasaanku.
Akhir-akhir ini aku sering ke rumah sakit hanya untuk ingin tahu bagaimana keadaan Billy. Aku ingin menjaganya walaupun hanya sampai adiknya datang. Itu sudah cukup meredam rasa khawatirku. Aku hanya ingin dia tahu bahwa ada aku yang selalu ingin berada di dekatnya.
Dan kau tahu bagaimana rasa sakitnya hatiku ketika aku tahu Mitha sahabatku berpacaran dengan Billy, kan? Orang yang pertama kalinya membuat hatiku berbunga-bunga, selalu ingin bertemu, selalu ingin berbicara, dan aku jatuh cinta padanya.
Tuhan, biarkan hati ini ikhlas menerima semuanya. Aku tahu, sejak awal memang Mitha lah yang lebih diperhatikan Billy.
“Kamu sangat amat mirip sama Ocha.”
“Siapa Ocha?”
Aku mendengar pembicaraan Billy dan Mitha di taman rumah sakit. Dia tadi menyebut Ocha? Siapa ya?
“Dia pacarku. Sekarang dia sudah meninggal. Kamu tahu? Aku sangat mencintainya. Begitu juga aku sangat cinta sama kamu.”
“Ap”
Aku melihat Mitha yang menampar Billy begitu kerasnya. Sampai-sampai Billy kesakitan. Tega banget Mitha menyakiti Billy dengan keadaannya yang seperti itu? Apa dia nggak merasakan gimana rasanya hidup di ambang kematian?
“Kalo gitu cari aja Ocha! Jangan cari aku!” bentak Mitha lalu berdiri dan meninggalkan Billy sendiri.
Dan aku kaget sekali Mitha melihatku dan melirikku nggak jelas. Matanya berkaca-kaca dan alisnya bertaut tanda dia sedang kesal. Kemudian ia pergi begitu saja dan aku beranikan diri mendekati Billy.
“Bill, sendirian?” tanyaku berpura-pura nggak tahu apa yang baru saja terjadi.
“Kamu bisa pegangin pipi kananku sebentar?”
“Kenapa?”
Billy hanya diam saja. Akhirnya aku menuruti apa yang dia mau. Aku tahu dia kesakitan setelah Mitha menampar pipinya. “Aku tahu semua yang aku lakukan salah dan pada akhirnya akan membuatnya sakit. Tapi” kata Billy terbata-bata. Dan Billy menangis.
Aku melepas tanganku di pipinya lalu memeluknya. Aku nggak peduli dia akan menolaknya. Aku hanya ingin membuatnya tenang dan nggak menyalahkan diri sendiri. “Kamu nggak salah kok. Kalaupun aku ada di posisi kamu, aku akan melakukan hal yang sama.”
“Kamu hanya berusaha mengembalikan hati kamu kan?”
Billy membalas pelukanku. Apa? Bukannya dia lumpuh?
“Ver, Ver, lihat! Tanganku meluk kamu!”
Aku melepas pelukannya dan melihat Billy tersenyum memandang tangannya yang bisa bergerak. Benar-benar suatu keajaiban. “Kamu memang hebat, Bill.”
Billy tertawa. “Hei, kamu mau bantu aku nggak?”
Aku mengangkat bahu.
“Kamu berdiri di sana dan aku akan menjemput kamu dari sini!” kata Billy bersemangat.
Dan aku menuruti saja apa yang dia inginkan selama aku masih bisa membantunya. Aku ingin melihatnya bahagia. Aku ingin melihatnya tersenyum. Aku nggak ingin sedikitpun ada yang menyakitinya.
Dan kau tahu ada keajaiban apa? Dia berjalan! Billy berjalan! Billy menghampiriku. Dan aku mengulurkan tanganku menyamutnya. Ia memelukku dengan gembiranya.
“Ver, aku bisa jalan Ver!”
Aku hanya mengangguk dan menagis di dalam pelukannya.

Kali ini seperti biasa aku menemaninya sampai adiknya datang. Dan kali ini adalah pertama kalinya ia mengajakku jalan-jalan di sekeliling rumah sakit.
“Ver, kenapa kamu masih mau deket sama aku?”
“Kenapa?”
“Kamu tahu sendiri kan aku ini lumpuh. Lebih milih Mitha dibanding kamu yang jelas-jelas cin”
Aku mengerutkan dahi menatap Billy. “Kamu bilang apa?”
“Kamu cinta sama aku.”
Aku tertawa meskipun terpaksa. “Ya.” Jawabku lalu mengangkat bahu. Masih tetap menggenggam tangannya. “Aku bukan ingin memiliki kamu. Tapi aku ingin kamu bahagia.”
“Itu cara kamu mencintai?”
“Memang seharusnya begitu kan?”
Billy mengeluh kecapekan setelah berjlan kira-kira sejauh sepuluh meter. Ia mengajakku duduk di taman belakang rumah sakit yang tadi kita lewati. Aku mulai khawatir dengan keadaannya. Keringat dingin terus kelaur dari tubuhnya. Hidungnya terus mengeluarkan darah.
“Aku panggil dokter ya!”
Billy hanya menggeleng sementara aku sudah sangat khawatir dengan kondisinya. “Kamu di sini aja. Temenin aku.”
Tiba-tiba Billy memelukku. Nafasnya nggak beraturan seperti orang yang selesai berlari maraton. Tuhan, ada apa dengan Billy?
“Ver, maafin aku ya. Andaikan kita ketemu lebih cepat, aku akan sangat senang punya orang yang benar-benar mencintai aku dengan tulus.”
Aku memeluk Billy lebih erat. Aku merasa sepertinya dia nggak akan ada lagi di sini untukku. Sepertinya dia akn menghilang. Aku mendekapnya lebih erat. Aku nggak ingin melepaskan kehangatannya. Aku nggak ingin menggantikannya dengan tubuh yang keras dan dingin seperti tanpa kehidupan.
“Seperti Ocha?” tanyaku karena teringat dengan nama seseorang yang tadi disebutnya bersama Ocha.
Billy menggeleng dalam pelukanku. “Aku sadar setiap orang punya cara yang berbeda untuk mencintai orang lain.”
“Udah deh Bill! Mendingan aku panggilin dokter buat kamu!”
Billy bersikeras dan mengeratkan pelukannya mencegahku. “Aku udah tahu kok sebelumnya ini bakal terjadi.”
Aku menunggu sepersekian detik sampai akhirnya Billy melemaskan pelukannya. “Jaga diri kamu baik-baik ya.”
Billy semakin lemas. Aku nggak ingin memikirkan apapun saat ini. “DOKTER!”
***
Kematian itu damai. Dan hidup itu lebih keras. Dan billy meninggalkan kedamaiannya di dalam hatiku. Ada sebongkah rasa rinduku untuk bisa bertemu lagi dengannya di lorong waktu yang lebih abadi dan damai. Ada semacam rasa yang membuatku ingin menatapnya lagi lebih lama tanpa ada batasn waktu dan ketentuan apapun.
Kalaupun dia bukan untukku di sini, semoga dia adalah untukku di sana. Di tempat yang lebih dalam dan lebih indah.

0 komentar:

Post a Comment