Thursday, December 31, 2009

cerpen : KARENA KAMU, AKU JADI BISA “makan” BROWNIES

Bronis. Apa sih asyiknya bronis ? aku heran sama kedua sahabatku yang begitu senangnya menjalin hubungan dengan cowok dibawah umurnya. Terkadang aku suka jengkel mendengar semua cerita-cerita mereka yang bisa dibilang kekanak-kanakan. Apa sih untungnya ? kayaknya mereka nggak masalah bilang cinta dan cinta. Sadar nggak sih kalau dia tuh lagi mempermainkan cinta ? aku membaringkan diriku malas di atas kasurku mencoba menghilangkan semua pikiranku.
Dan aku sangat amat membenci yang namanya kue ‘bronis’.
“Woy,” seseorang melambaikan tangannya di depan mukaku yang ternyata adalah Vita, teman sekamar kostku. Membuatku spontan membuyarkan semua lamunanku tentang bronis. “Ngelamun aja ?”
Aku tersenyum datar. “Kamu tuh sebenarnya nyaman nggak sih pacaran sama brondongan gitu ?” tanyaku kepada Vita yang sedang asyik bergelut dengan gulingnya di kasur.
“Dia tuh cenderung jujur dan apa adanya, Ra. Di samping itu dia mau mencoba untuk lebih dewasa dibandingkan aku yang lebih tua dari dia. Itu yang aku suka,”
Aku tercengang mendengar penjelasan Vita. “Emangnya mantan-mantan kamu nggak ada yang bisa dewasa ya ?”
“Mereka lebih suka mempertahankan diri mereka dari semua kesalahan yang mereka lakukan dengan alasan-alasan yang kayaknya udah mereka rencanakan sebelumnya,” Vita menerawang seperti kembali ke masa lalunya dengan mantan pacarnya yang selalu sad ending dengan masalah yang sama.
“Mau ?” tanya Vita menawarkan bronis di genggamannya.
“No way !”
Vita terkekeh dan menelan semua bronisnya yang membuat perutku mual. Yeak !


“Wow ! tuh cowok so sweet banget sih ? anak baru ya ? aku nggak pernah lihat,” ujarku ketika sedang asyik duduk dan makan siang di kantin dengan Vita dan Mira.
Vita menoleh ke arah cowok yang aku maksud. Cowok itu berjalan dengan tegapnya ke arah kantin. “Hm, itu ya ?”
Mira ikut melongo melihat cowok baru itu. “Kayaknya Vita udah kenal tuh ?” tanggapnya dengan mulut penuh makanan.
Vita menggeleng sambil menyeruput teh botolnya. “Baru lihat juga. Mungkin emang anak baru. Ajakin kenalan aja, Ra. Lumayan kan buat gebetan kamu yang belum punya pacar.” Seru Vita mengerlingkan matanya ke arahku.
“Idih, apaan tuh ? kalau dia udah ada cewek terus gimana ?”
Mira menepuk pundakku berulang kali. “Dia jalan ke sini,”
Seketika aku menoleh ke arah cowok baru itu yang memang benar akan menuju mejaku. “Gila,”



“Gila abis ! aku sama sekali nggak nyangka kalau penampilannya menipu banget,” ujarku kepada kedua temanku yang sekarang sedang menertawakan cowok baru tadi. “Bener-bener menipu ! pake acara nabrak segala lagi,”
Mira memegangi perutnya yang sepertinya mulai tegang karena terlalu banyak tertawa. “Keren banget dia bisa kasih kesan pertama yang bagus sama kita kan ?” kata Mira lalu melanjutkan ketawanya. Kenapa aku sendiri yang kecewa ya ?
“Kayaknya kamu kecewa ya Ra sama kesan terakhirnya dia ?” seru Vita yang terkesan menyindirku. “Nyantai aja lagi,”
Benar-benar dramatis. Cowok yang tadi aku bilang so sweet itu ternyata adalah seorang cowok SMP kelas tiga. Dan aku dengar itu dari Ibu Siti.
“Mas besok kalau udah lulus daftar ke sini aja biar nggak repot bolak balik,”
Badannya yang tinggi tegap dan wajahnya yang memiliki kumis tipis di rahangnya benar-benar membuatku jatuh dari angan yang aku buat sendiri. Angan seandainya saja aku bisa mengenalnya sebagai anak SMA kelas dua sepertiku.
“Udahlah Ra. Lupain aja,” kata Vita menyadarkanku yang masih nggak nyangka dengan kejadian itu. Mira lagi-lagi menertawakan hal yang bagiku sama sekali tidak lucu.



“Stop ! kalian tuh setiap hari cuma itu aja yang diomongin ? lama-lama garing tau nggak sih ?” protesku kepada Vita dan Mira yang asyik ngerumpi masalah brondong mereka.
“Aduh, Ra. Kenapa sih kamu heboh sendiri ? biasa aja lagi. Kamu aja sih yang belum ngerasain gimana jatuh cinta sama anak kecil,”
Aku jadi merengut mendengar perkataan Vita. Hufh, jangan sampai deh aku suka sama anak-anak. Nggak level banget ! sama yang seumuran aja makan hati, gimana sama yang anak-anak ?
“Ra, kamu rasain aja sendiri kalau sampai kamu jatuh cinta sama anak-anak,” ledek Mira disambut tawa Vita yang terkesan mengejekku.
“Jangan sampai deh !” ucapku kecut. Aku jadi kecut sendiri kalau sampai apa yang dibilang Mira benar-benar terjadi sama aku yang memang benci banget sama yang namanya anak-anak. Mereka manja dan banyak maunya.
“Jadi gimana Vit, Revan pernah nggak ngasih kesan-kesan romantis gitu sama kamu ? secara kamu juga nggak suka kan sama cowok jaim ?” cerocos Mira dengan suara keras membuatku bergidik. Aku segera pergi meninggalkan kamar sebelum aku benar-benar muak dengan pembicaraan mereka. Sekilas aku dengar suara Mira dan Vita yang cekikikan dan masih menertawakanku.



Aku berjalan gontai mengikuti dua sahabatku yang berjalan di depanku menuju gerbang sekolah. Sekolah sudah cukup ramai karena waktu sudah menunjukkan pukul 06.30. Seperti biasa Vita dan Mira masih asyik dengan topik pembicaraan yang sama seperti yang sudah-sudah. Dan aku sangat bosan !
Bruuk !
“Sorry mbak. Maaf aku nggak sengaja. Mbak nggak papa kan ?”
Aku mendongak untuk melihat makhluk apa yang sudah menabrakku tanpa permisi. “HAH ? KAMU ?” bentakku sekencang-kencangnya setelah tahu yang menabrakku adalah cowok tinggi yang masih SMP itu. Dengan memasang wajah lugu dia mengulang kata-katanya tadi.
“Nggak bisa ! kamu udah nabrak aku dua kali ! DUA KALI !” kataku dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku di depan mukanya. Dia memang sudah menabrakku dengan nampannya di kantin. Vita dan Mira sudah nggak terlihat lagi di belakang cowok kecil tapi tinggi ini. “Atau kamu sengaja nabrak aku ? lagian kamu tuh ngapain sih ada di sini ? kamu kan bukan anak sini, anak kecil !” semprotku membuat matanya berkedip-kedip dengan mulut terkatup-katup seperti ikan kehabisan nafas. Kenapa dia gugup ?
“Terus aku harus ganti rugi apaan ?”
“Beli nasi bungkus di kantin !” kataku dengan nada sedikit tinggi. “Tiga !”
Cowok itu melongo mendengar kata terakhirku. Mungkin dia pikir makanku banyak. Hahaha, aku jadi geli sendiri melihat reaksinya. “Tiga ?”
“Kalau nggak…”
“OKE !”



“Hahaha, gila kamu !” ujar Vita setelah menerima nasi bungkus yang aku bawa dari cowok itu.
“Biarin aja ! dia udah berani nabrak aku dua kali ! ya itu resikonya,” jawabku berkacak pinggang di depan bangku Vita dan Mira.
“Nabraknya kan cuma dua, kenapa kamu minta tiga ?” protes Mira.
“Emangnya kamu nggak mau kebagian nasi bungkusnya ? kamu kan paling doyan,” sergahku membuat Mira nyengir. “Mumpung pagi ini perut kita belum diisi kan ?” sambungku mengerlingkan mata.
“Betul !” jawab Vita dan Mira bersamaan.



Hancur lo ! kenapa wajah guru bahasa Indonesia yang asik menulis di papan tulis itu jadi wajahnya si cowok SMP jelek itu ? ada apa ini ? jangan-jangan… nggak mungkin, itu nggak mungkin ! Rara, kamu mikir apa sih ?
“Kamu kenapa Ra geleng-geleng gitu ? ada yang aneh ya sama pak Yanto ?”
Aku menghentikan kepalaku dan menggeleng ke arah Sefi teman sebangkuku. “Salut aja dari tadi pagi ngajar kok dia nggak capek-capek ya ?” kilahku menutupi kekacauanku.
“Yah, emang dia suka semangat gitu kan ?”
Aku mengangguk menyetujui komentar Sefi. Pak Yanto memang salah satu guru paling disiplin dan semangat di sekolahku dengan umurnya yang sudah kepala empat.
Aaah, masih saja aku memikirkan cowok tengil itu ! lagian kenapa juga sih aku harus nggak suka sama dia ? aku kan belum mengenal dia. Tapi aku nggak mau berharap kenal sama dia. Nggak akan !



Aku urungkan niatku untuk pulang segera karena perutku sudah menyalakan alarmnya berkali-kali. Aku langkahkan kakiku cepat-cepat menuju ke kantin dan mengambil posisi duduk paling nyaman di dekat jendela.
“Bu, nasi campur satu es teh satu ya !” seruku kepada Ibu Siti, penjaga kantin.
“Iya mbak,”
Aku memandang ke luar jendela. Dan anehnya, aku melihat sosok cowok SMP itu sedang berjalan menuju ke kantin. Sebenarnya apa sih niatnya datang ke sini setiap hari ? aku jadi penasaran.
“Ibu, ambil bronis !” serunya kepada Ibu Siti.
“Kok baru ambil mas ? biasanya pas istirahat kedua ?”
“Tadi ada pelajaran tambahan,”
Hm… jadi dia datang ke sini buat ambil bronis ya ? WHAT ? bronis ???
“Lho, mbak ada di sini ya ?”
Aduuh, pakai nyapa segala sih nih anak. “Mau ikut makan ?” tanyaku basa-basi.
“Boleh sih kalau dibayarin,”
Aku menghela nafas. “Iya deh. Duduk !”



“Jadi kamu ke sini pagi siang buat setor bronis ya ? bikinan sendiri ?” tanyaku di perjalanan menuju ke luar sekolah.
“Nggak lah mbak. Bikinannya mamaku.” Jawabnya sambil membawa nampan di tangan kanannya.
“Kamu kok mau aja sih nganterin ?”
“Searah sama sekolahku sih. Aku mau-mau aja soalnya ada anak di sini yang aku kagumi,” jawabnya terkekeh. Aku jadi down entah kenapa setelah mendengar kata-katanya. “Sekali-kali mbak cobain dong bronisnya mamaku !”
“Nggak ah ! aku nggak begitu suka bronis. Kebanyakan telor,”
Cowok itu membulatkan mulutnya tanda mengerti. “Mbak, aku naik motor nih ! sekalian aku anterin ke kost aja,”
Aku menggeleng. “Nanti ngerepotin.”
Aku memandangnya heran. “Kok kamu tau aku ngekost ?”
“Nggak. Ayo cepet naik !” cowok yang belum aku tahu namanya itu menggandengku ke arah sepeda motornya tanpa menjawab pertanyaanku. Berani juga dia, masih SMP sudah bawa motor sendiri.
Nanti tanya namanya nggak ya ? ah, nggak deh ! gengsi dong, masa cewek duluan sih yang nanyain cowok ? lagian anak kecil begini sih.



“Stop di sini aja ! makasih ya,”
“Sama-sama. Duluan ya mbak,”
“Jangan panggil mbak dong ! kayak aku udah tua aja sih ?”
“Terus ?”
“Apanya ?”
“Namaku Galih. Nama kamu ?”
“Ratna. Tapi panggil aja Rara,”
Cowok bernama Galih itu mengangguk. “Rara, aku pulang dulu ya,”
Aku segera masuk ke kamarku setelah Galih nggak terlihat lagi. Aku jadi tersenyum sendiri. Baru kali ini aku pulang dianter cowok. Tapi kok anak kecil sih ?
“Cie, Rara dianterin siapa tuh ?” seru Vita sambil bersiul aneh.
“Dianter sama cowok SMP,” jawabku santai sambil melepas sepatuku lalu berbaring di atas tempat tidur.
“Katanya anti bronis ?” sambung Mira yang baru masuk ke kamar. Kamarnya memang beda denganku dan Vita.
“Emang aku bilang ya kalau aku suka sama dia ?”
Mira dan Vita tertawa. Jangan-jangan aku berubah pikiran nih ! apa benar aku suka sama Galih ?
“Namanya siapa Ra ?” tanya Mira melepas lamunanku.
“Galih,”



Aku berjalan mengendap-endap dan penuh semangat ke arah kulkas yang terletak di kamar Mira. Aku yakin dia pasti masih menyimpan banyak bronis di sana. Dan ternyata benar, banyak banget bronisnya.
“Mau apa Ra ?” tiba-tiba Mira sudah ada di belakangku.
Aku membalikkan badan dan menyembunyikan bronis yang ada di tanganku. Fiuuh. “Nggak mau apa-apa kok,”
“Apa tuh yang kamu sembunyikan ?” Mira berjalan menghampiriku.
“HAH ? kamu ambil bronis ? nggak salah ?”
Aduh ! tamatlah sudah riwayatku. “ENGGAAAAKK !”
Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku. Bukan ! tapi ada dua suara yang memanggil namaku dan menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku membuka mata melihat sekeliling.
“Nggak ! aku nggak suka bronis Mir ! sumpah,”
Tawa Vita dan Mira pecah mendengar ocehanku. “Kenapa sih kalian berdua ?”
“Jadi kamu mimpi makan bronis ?” ujar Mira.
Aku baru sadar kalau yang baru saja terjadi adalah mimpi. Pertanda apa sih aku sampai mimpi kayak gitu ? masih siang kok mimpi aneh-aneh ? hufh. Ngomong-ngomong, gimana bisa sih mamanya Galih bikin makanan aneh gitu ? ups, kenapa aku jadi mikirin dia lagi ? jangan-jangan…
“NGGAK MUNGKIIIIN !”




“Ra,” seseorang menepuk bahuku dari belakang. Ternyata galih. Ada yang aneh ketika dia duduk di dekatku. Aku berdebar. “Kamu suka makan siang di sini ya ? mana temen-temen kamu yang biasanya ?”
“aku lagi nggak mood nyari makan di luar. Temen-temenku lagi nggak pengen gitu katanya. Ngambil nampan ya ?”
“Seperti biasa lah,”
“Ngomong-ngomong, siapa sih mbak-mbak di sini yang bikin kamu rajin ngambil nampan ?”
“Emm,” Galih terlihat gugup menjawab pertanyaanku dan wajahnya memerah. Baru tahu aku kalau dia semanis ini kalau lagi malu. Eh, kenapa juga aku tanya kayak gitu ? nggak penting banget. “Bukan siapa-siapa kok,”
Tuh kan ? kayaknya aku sudah ada tanda-tanda aneh nih. Tanda-tanda berharap, dan tanda-tanda…suka.
“Dia cantik, lincah dan manis. Meskipun dia udah kelas dua, mungkin aku pantes jadi anak kelas tiga SMA buat dia,”
Kelas dua ? kelasku dong ? sebenarnya dia lagi ngomongin siapa sih ?



“Hei,” Mira mengagetkanku. Apa dia nggak tahu aku sedang malas memperhatikan guru matematika yang terus menerangkan rumus peluang yang aneh itu ? Hari ini dia minta duduk di sebelahku. Pasti mau ngomel.
“Apa sih ?”
“Ada tanda-tanda merah di pipi kamu,”
Aku memegang pipiku yang sepertinya baik-baik saja. “Apa sih ?”
Mira mencubit pipiku gemas. “Kamu tuh lagi jatuh cinta,”
“HAH ???”
Spidol besar melayang ke keningku. “Sakiit,” kataku merengek. “Kamu sih,”
Mira memasang tampang menyesal. “Sorry,”
“Kalau kamu tidak mau memperhatikan saya, lebih baik kamu tidur saja !” bentak Bu Sri guru matematika di kelasku.
“Eh, kamu yang bener aja sih Mir ? gimana kamu bisa bilang gitu ?” seruku pelan dan menunduk.
“Kelihatan kali dari mata kamu !”
Apa iya ? apa iya aku suka sama Galih ? aku kan benci bronis. Nggak mungkin aku suka sama dia.
“eh, kamu mau tau sesuatu nggak ?” tanya Mira.
“Apa ?”
“Tadi waktu kelas sepi, Galih masuk ke kelas kita.”
“Mau ngapain ?”
Mira mengangkat bahu. Apa mungkin cewek yang dia kagumi ada di kelas ini ? ahh, aku jadi pusing. Aku mengambil binderku yang aku selipkan di kolong mejaku. Kok agak berat ya ? ternyata ada satu bungkusan kado kecil yang cantik banget di atas binderku.
“Apa tuh Ra ?”
Aku membuka bungkusan itu yang ternyata isinya…BRONIS ???
Ada suratnya.
Ra, cobain deh. Bikinanku sendiri. Mungkin kamu bisa berubah pikiran tentang bronis.
“Galih ?”



“Sumpah itu enak banget Ra !” seru Vita setelah mencoba separuh bronis bikinan Galih. “Kamu nggak pengen nyobain ?”
“Kamu tau sendiri kan aku nggak suka ?”
“Tapi coba dulu deh,” bujuk Mira menyuapkan bronisnya kepadaku. “Gimana ?”
Nggak ada bau telor di sini. Aku nggak begitu ngerasa makan telor mentah. Itu artinya, bronis ini enak ! “Perfect !”
Vita dan Mira bersorak-sorak di atas tempat tidur. Dasar lebay !
“Eh, diem ! ada yang ketok pintu tuh,” kataku menghentikan Vita dan Mira.
Aku berjalan ke arah pintu kamar. “Ada apa Ma ?” anak kost biasa memanggil Ibu kost dengan sebutan mama.
“Ada yang nyariin kamu, nak. Udah nunggu di luar,”
Ternyata ada Galih yang tengah duduk di teras depan rumah. Dia terlihat keren banget dengan kaos putihnya. “Kamu Gal ?”
“Ganggu ya Ra ?”
Aku menggeleng. “Ada apa ?”
“Bronis aku nggak kamu buang kan ?”
Aku melongo. “Ha ? ya enggak lah. Enak banget kok. Makasih banget ya. Kamu bisa merubah seleraku tentang bronis. Kalau kamu mau bikinin lagi aku juga mau kok,” jawabku terkekeh.
“Aku cuma ngurangin telornya aja kok. Kan kamu nggak sukanya gara-gara telor,” jawabnya lalu tersenyum. Hmm, sejuk banget senyumnya seperti jeruk. Haha.
“Makasih ya,”
“Eh, keluar yuk,”



“Kemana aja kamu ? malam gini baru pulang,” tanya Vita nyengir. “Inget non, besok kita ulangan matematika,”
“Ahh, sebodo amat sama tuh matematika ! yang penting aku puas,” jawabku penuh semangat.
“Tuh kan ? dugaan aku bener. Kamu emang udah jatuh cinta sama Galih,” seru Mira.
Aku terbelalak. Aku baru sadar. Ternyata memang benar. Jelas sudah maksud jantungku yang selalu berdebar-debar waktu ada Galih. Yah, semoga aja aku nggak Ge-Er cuma karena dia ngajakin aku jalan.



Ternyata hari ini ada bungkusan lagi. Dan isinya bronis lagi. Aku jadi suka bronis. Galih memang jago banget bikin bronis. Kali ini ia tempatkan bronis itu di tasku. Membuatku sedikit terhibur setelah ulangan matematika yang sangat membuatku pusing.
“Duuh, yang dapet bronis ?”
Wajahku memerah mendengar ledekan Mira. “Apaan sih ? biasa aja kali,”
“Biasa yang luar biasa,” sahut Vita terkekeh.
“Kamu jadi aneh tau nggak ?” seru Mira ke arahku.
“Aneh ? aneh gimana ?”
“Jadi suka bronis. Dan kebetulan bronis itu dari Galih. Jangan-jangan kamu mulai ada rasa sama dia ?” Mira berkata seperti menyelidik.
“Sssssst, ada suratnya lagi nih,” seruku mengalihkan pembicaraan Mira yang membuatku nggak bisa menjawab apa-apa.
Aku membuka kertas kecil yang terselip di bungkusan kado.
Aku ada kejutan buat kamu. Aku tunggu di tempat kemarin satu jam lagi.
“Gila ! tempat kemarin kan jauh banget ? lagian aku nggak siap nih,” aku melihat diriku yang masih berbalut seragam putih abu-abu.
“Udah deh. Perjuangin cinta kamu ! Udah nggak usah ganti aja,” seru Vita semangat membuatku tambah gugup.
“Emang tempatnya mana sih ?” tanya Mira yang ikut gugup.
“Aku kurang jelas. Tapi butuh satu jam dari sini,”
“Langsung berangkat aja,” seru Mira dan Vita hampir bersamaan.



Aku terengah-engah setelah sampai di tempat yang Galih janjikan. Sore ini sepi banget. Mungkin karena habis hujan dan cuaca masih mendung. Aku segera berjalan menuju kolam ikan yang terletak di belakang area permainan.
“Kamu udah lama ?” tanyaku kepada Galih. Tubuhnya basah. “Kamu kehujanan ?”
“Nggak papa kok. Duduk,”
Ternyata Galih sudah mempersiapkan candle light di tepi kolam. Mejanya penuh dengan bronis dengan lilin kecil di atasnya. Kapan dia mempersiapkan ini semua ?
“Cantik,” komentarku.
“Kamu kok nggak ganti sih ?”
“Kamu juga sih yang gugupin aku,”
Galih menertawakanku. “Ya udah deh. Duduk,”
Aku segera duduk tepat di hadapan Galih. Hmm, aku deg-degan lagi.
“Ra, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi please jangan tertawain aku,”
“Ngomong aja,” jawabku. Aku mulai bergetar hebat menunggu mulutnya mengatakan sesuatu.
“Aku…”
“Apa ?”
“Suka sama kamu,”
HAAAA ???? Aku seperti tersengat petir. Aku nggak nyangka ternyata perasaanku nggak salah. Tuhan, dia manis sekali.
“Ha ?” kataku masih nggak percaya.
“Iya Ra, aku suka sama kamu. Aku mau kamu jadi pacar aku,”
Galih menutup mulutku dengan telunjuknya yang hampir bicara. “Mungkin kamu pikir aku nggak tau diri. Kamu nggak mungkin suka sama anak kecil kayak aku. Kalau emang kamu nggak mau nerima aku, kamu boleh kok anggep aku adik atau apa aja,”
“Gal,” aku menghela nafas. “sebelumnya makasih atas semua yang kamu kasih buat aku. Kamu baik sama aku. Tapi maaf, aku juga nggak bisa bohongi diri aku sendiri.”
Galih terlihat gugup dan meremas tangannya.
“Aku juga suka sama kamu,”
Galih mendongak dan menatapku. “Serius ?”
Aku mengangguk. “Tapi aku punya satu permintaan buat kamu,”
“Apa ?” tanyanya penasaran.
“Kamu mau nggak merubah rasa suka kamu itu jadi rasa sayang ?” tanyaku sedikit memohon. Aku jadi merasa seperti berada di depan orang dewasa.
“Itu udah pasti kan ?” jawabnya mantap lalu tersenyum. Galih menggenggam tanganku erat. “Aku pasti bisa buat kamu bahagia. Aku pasti bisa jadi cowok yang lebih dewasa yang bisa jagain kamu,”
Aku mencubit pipi Galih yang memerah. “Iya adik kecil,”
Galih tertawa.
“Aku makan ya bronisnya. Tadi yang kamu kasih belum sempat aku makan,”
“Jangan Ra !” seru Galih mencegah tanganku yang hampir saja menyentuh bronis di depanku.
“Kenapa ?”
“Saking gugupnya tadi aku lupa nggak ngurangin telornya,” jawab Galih nyengir.
Perutku jadi mual melihat bronis di depanku.
“Sorry deh…”
Ternyata begini ya yang dirasakan dua sahabatku ? jatuh cinta sama anak kecil. Dan apa yang mereka bilang memang nggak salah. Anak kecil cenderung apa adanya. Seperti Galih sekarang ini kan ? I love you berondongku. Hahaha.
“Pokoknya kamu harus ganti rugi,” seruku kepada Galih yang masih khawatir aku akan mengambil bronisnya.
“Iya ya…”
“Janji ya !”
Galih mengangguk dan tersenyum manis semanis bronis. 

0 komentar:

Post a Comment