Thursday, November 17, 2011

PUISI SENJA

Aku ingin berbicara tentang cinta. Cinta yang kini sedang ingin membuaiku di atas langit tertinggi. Aku ingin berbicara tentang cinta. Cinta yang saat ini sedang memaksaku untuk mendekatinya. Mendekatinya yang menciptakan cinta dalam hatiku.
Kemudian aku ingin berbicara tentang dirinya. Dirinya yang begitu kukagumi dengan segala kehebatan dan kelemahannya. Dan bagiku, semua yang ada di dalam dirinya pantas untuk kucintai sedemikian rupa, apa adanya, tanpa paksa, dengan sempurna.
Takkan habis fikiranku berkelana tentangmu, wahai cintaku. Karena begitu banyak kisah indah yang ingin kulukiskan di dalam cerita hidupku bersamamu. Takkan habis senyumku terukir, duhai kekasihku. Karena mengingatmu adalah hal yang terindah sepanjang sejarah hidupku.
Cintaku, kini aku sedang tersipu. Tersipu malu karena tengah terhipnotis kata-kata cinta yang sering kau perdengarkan kepadaku. Kini aku sedang berdebar. Berdebar merasakan cinta yang kau tanamkan dalam jiwaku.
Aku bahagia. Bahagia karenamu yang selalu mampu menumbuhkan bunga-bunga cinta dalam hatiku.
“Kamu mencintaiku?” pertanyaan klasik yang harusnya sudah kau tahu jawabannya.
“Apa menurutmu?” aku balik bertanya. Membuat raut mukamu berubah seperti sedang menahan tawa.
Akhirnya kau benar-benar tertawa. Dan anehnya, aku sangat menyukai bagaimana caramu tertawa. Dengan mata sedikit menyipit dan pipimu yang merona merah. Membuatku tak bisa menahan gemuruh kelu di dalam hatiku.
“Ya. Jawabannya iya. Kamu mencintaiku kan?”
Aku mengangguk. “Tepat sekali.” Aku menatapmu penuh cinta. Semoga senyumku mampu menghantarkan rasa cinta terdalamku padamu.
Langit mulai menguning. Menghapus birunya yang hangat dan sebentar lagi memudar menjadi senja yang dingin. Lalu menghantarnya kepada keheningan malam yang sepi. Namun aku belum ingin mengakhiri kebersamaanku denganmu, Sayang. Aku masih ingin mendengar suaramu. Aku masih ingin menatap kilau coklat bola matamu. Dan juga kata-kata cintamu.
“Ajarin aku bikin puisi ya, Sayang.” Kata-kata itu terdengar lembut dari bibirmu. Mengiang indah di dasar pendengaranku hingga sulit kulukiskan betapa hebatnya debaran jantungku saat ini.
“Buat apa?” maaf, aku tidak langsung mengiyakan permintaanmu, Sayang. Dan agaknya kau sedikit gemas dengan pertanyaanku yang terdengar konyol tadi. Pasti. Dan, aku sangat menyukai ekspresimu sekarang ini.
“Sayang, kamu kan hebat banget bikin puisinya…” kali ini kau mulai merajuk mesra dan manja di sampingku.
“Ih.” Aku sedikit malu. “Aku kan tanya, buat apa? Kok jawabnya gitu? Nggak nyambung ah!”
Kau memanyunkan bibirmu lucu. Sabarkan hatiku untuk tidak menciumnya, Ya Tuhan…
“Ayolah, Sayang…”
Aku tersenyum. Sejenak memandangmu. Lalu beralih menatap matahari yang perlahan mulai turun membawa cahayanya. Hijaunya rumput di sekitarkupun mulai samar. Hampir menghitam.
“Sisipkan rasa tersirat dalam lubuk hatiku.
Dan rasa itu indah hingga bersemu menyemai.
Sering senyumku merona malu karenamu.
Melawan gemuruh cinta yang tak dapat kucegah.” Bait pertama puisiku berhasil membuatmu terpaku memandangiku dan tak sedikitpun bagian wajahku yang luput dari pandanganmu.
“Tasbih cintamu hadir mengetuk pintu asaku.
Mencoba mengusik rasa yang asing dan berbeda.
Mengalun lembut penuh pesona keanggunan.
Membuai jiwaku terbang jauh berangan-angan.” Di akhir bait keduaku kau mulai menggenggam lembut tanganku. Dan masih memadangiku dengan lembut dan penuh kasih. Akupun hanya dapat tersenyum. Mencoba menahan diri agar tidak berdebar terlalu kencang.
“Bait-bait cinta muali tertulis sempurna.
Semenjak hembusan rindumu merasuki hatiku.
Hingga bait itu menjadi satu sajak indah.
Ceritakan tentang betapa hebatnya aku mencintaimu.” Kali ini kau mencium keningku dengan satu kecupan lembut. Dan aku menyukainya.
“Terbayang selalu kasidah-kasidah indah tentang cinta.
Yang kau siratkan di setiap hembusan tuturmu.
Sungguh selalu ingin kudengar.
Dirimu bertasbih tentang indahnya pesona cinta.”
Aku menghela nafas panjang setelah berhasil menyelesaikan empat bait puisiku.
“Tadi itu, judulnya apa?” kau tersenyum sembari memandangku lekat-lekat. Membuatku tak dapat menyembunyikan rona merah di pipiku karena malu.
“Puisi Senja. Kamu suka?”
Kau mengangguk lucu.
Saat itu, baru aku tersadar, bahwa cinta memang begitu indah dan menyenangkan jika denganmu. Tidak kalah indahnya dengan bunga-bunga yang baru saja mekar dari kuncupnya di padang taman. Dan akulah salah satu dari bunga itu yang sedang jatuh cinta pada seekor kumbang. Kumbang yang mampu menghisap madu-madu cinta dalam bunga hatiku.
Kaulah kumbangku.
Dan aku sangat mencintaimu. Kesangatan yang sungguh sederhana dengan segala luapan rasa yang ramai berkicauan dalam relung hatiku.
“Aku cinta kamu, Bunga.” Kau menyadarkanku dari lamunan sesaatku tentangmu. Dan lagi-lagi kau mengucapkan kata-kata yang sungguh tak dapat kupungkiri getaran hebat yang ditimbulkannya dalam dadaku. “Kemarin, untuk saat ini, besok, dan seterusnya.” Kau tersenyum manis, lalu mendaratkan sekecup lembut di keningku.
Ah. Terkadang aku risih sendiri dengan diriku yang terlalu mudah memerah padam karena malam.
“Aku cinta kamu, Kumbang.” Balasku.