Friday, January 13, 2012

PERSEPSI CINTA


Dengarlah kasihku, hati ini bukan untuk dipermainkan. Dengarlah sayangku, cinta ini bukan untuk dikhianati. Namun apa yang telah kaulakukan padaku mengajarkanku akan satu hal. Hal yang membuatku mengerti tentang sisi cinta yang tak selamanya indah seperti yang dulu menggelayuti angan sepiku. Angan indah yang nyatanya membuat rasa sakit yang baru saja kaugores semakin berdenyut di tepi-tepi hatiku.

Namun cinta ini suci. Namun cinta ini tulus. Namun cinta ini lahir atas dasar kuatnya asa dalam menerima semua keagungan dan kelemahan yang kaumiliki. Tak perlu kau peduli, tak peduli kau perlu, cinta ini akan setia menetap dalam satu naungan yang takkan pernah tergantikan keindahannya. Meski indah itu hanya terlihat di mataku, bukan di mata mereka.

Aku memang merasakan sakit yang menggebu itu. Atas dasar ketidakpedulianmu tentang luapan rasa ini. Aku memang merasakan kecewa yang amat sangat itu. Atas dasar pengkhianatan yang kauhempaskan. Namun aku hanya akan terdiam dan selamanya ingin diam menerima semua perlakuanmu. Karena cinta ini, dan karena ketakutanku akan kehilanganmu.

Jika sepasang bibir berkata bahwa cintaku sempurna, maka bibir itu perlu menelan kembali ludah yang telah dikeluarkannya sia-sia. Karena pada kenyataannya cinta ini pun tak berbalas. Bahwa cintaku bahagia, maka bibir itu harus mengatupkan diri rapat-rapat. Karena faktanya cinta ini berawal sedih dan takkan berakhir bahagia, meski hati ini memaksa.

“Cukup, Nurmala!” Bentak Adam. Ia geram menahan amarah yang menggemuruh di dasar jantungnya. Ingin ditamparnya sang kekasih yang dicintainya itu, namun apalah daya, ia sangat mencintainya. Bahkan tidak akan ia mengatakan ‘sangat mencintainya’ jika ada kata yang lebih pantas untuk menggambarkan perasaannya.

Nurmala terisak dibalik kedua telapak tangannya. “Maafkan aku, Adam. Aku tidak bisa membohongi hatiku.” Katanya, berusaha menahan tubuhnya agar tidak bergetar terlalu hebat.

Adam telah berada di puncak kemurkaannya. Dikepalkannya kedua tangan yang telah melebam akibat perkelahian sengitnya dengan lelaki yang mengencani kekasihnya tadi. Ia tak menemukan benda apapun di dekatnya. Andaikan ada, berdarahlah sudah kedua tangannya itu.

“Apa maksudmu memperlakukanku seperti ini, Nur?” kali ini suara Adam melemah seperti menahan tangis yang hendak pecah.

Nurmala hanya kuasa menggeleng dan terus bersembunyi dan terisak di balik kedua telapak tangannya.

Adam menghela nafas berat. “Kurang pantaskah cinta yang kutitipkan di dalam hatimu dua tahun yang lalu? Kurang pantaskah jika aku yang menjadi satu-satunya di dalam hatimu? Atau, cinta saja kurang cukup bagimu?”

Nurmala mulai menampakkan mukanya yang berlumuran air mata dan memerah semu. Ia menggeleng berat menanggapi tuduhan Adam yang tidak ia setujui. “Aku mencintaimu, Adam. Sungguh rasa itu tidak pernah sedikitpun berkurang dari dulu hingga detik ini. Aku bersumpah, Adam.”

Adam tertawa hambar. Ia merasa dipermainkan dengan sumpah yang baru saja Nurmala ucapkan lantang-lantang dan jelas terdengar hingga ke dasar telinganya. “Apa tadi kau bilang? Tidak berkurang sedikitpun?” pecah sudah tawanya. Menggelegar dan membahana seisi ruangan tak berbilik tempat ia dan Nurmala berseteru. “Lalu apa yang kau berikan kepada lelaki jalang itu? Apa namanya bukan cinta? Atau mungkin ada istilah lain?”

Nurmala yang semula duduk berjongkok di tepian danau-tempat ia dan Adam memadukan rasa rindu yang bertalu-dengan sorot mata terluka, perlahan berdiri lalu mendekati Adam. Hingga sepertinya tak lagi ada jarak antara mereka berdua. “Tidak ada. Tidak ada istilah lain. Aku memang mencintainya. Tapi salah jika kau bilang aku membagi-bagi cintaku pada kalian berdua!” setetes air mata keluar lagi dari matanya.

Adam mencoba menghindari tatapan Nurmala. Ia tersenyum sinis mengingat rahasia besar yang disimpan kekasihnya. Dan ia menyesal mengapa baru ia ketahui sekarang. Ingin rasanya ia meninggalkan Nurmala cepat-cepat tanpa peduli Nurmala akan mengejarnya atau malah membiarkannya. Akan tetapi sekali lagi, apalah daya, ia sangat mencintai gadisnya itu.

“Nur, kau tahu, aku sangat mencintaimu.” Adam lelah.

“Aku tahu sekalipun tak seribu kali kau mengatakannya, Adam.”

“Dan bagiku, kehadiran lelaki itu di tengah-tengah kita merupakan pengkhianatan yang benar-benar tak bisa aku toleransi.”

Nurmala kembali menitikan air mata. “Sungguh, Adam. Bagaimana caranya agar kau percaya bahwa cintamu tidak pernah kubagi?”

“Lalu?” Adam menahan geram.

Nurmala meraih tangan kiri Adam. “Ada dua cinta di sini.” Didekatkannya tangan itu tepat di detakan jantungnya. “Dan, Sayang, cintamu tetap utuh dalam hati ini. Sedikitpun tak ingin ku membaginya dengan siapapun kecuali hanya denganmu.” Nurmala tersenyum di antara tetesan air matanya.

“Nur,” suara serak seorang lelaki membuyarkan pertengkaran Adam dan Nurmala.

“Bi?” Nurmala tersentak melihat kehadiran kekasih rahasianya itu di tengah-tengahnya dan juga Adam. Ia tak berusaha beranjak dari sisi Adam, namun di sisi lain ia juga ingin mendekati Habi dan memeluknya erat. Meluapkan semua rasa cinta yang bergemuruh hebat di dalam hatinya.

Akan tetapi sungguh, Adamlah yang paling ia rindukan ketika ia pergi jauh ke alam mimpi. Bahkan saat ini, saat yang sangat nyata dan benar-benar terjadi.

“Semua harus diakhiri.” Adam membuyarkan Habi dan Nurmala yang larut dalam pandangan masing-masing. Ia mundur lebih jauh dari Nurmala. “Nur, kau tidak lagi seutuhnya menjadi kekasihku. Dan maaf, aku tidak dapat menganggap pengakuanmu itu masuk akal. Aku benar-benar tidak bisa terima.” Adam menatap Nurmala lekat. “Jika dua cinta dapat tumbuh dalam satu hati, sudah dari dulu aku membawa sepuluh wanita ke hadapanmu, Nur.”

“Dan kau tak mengerti seberapa miris hatiku ketika kau bilang cintamu sama sekali tak terbagi.” Adam mendengus pasrah.

“Nur, aku yang akan merelakanmu.” Habi tetap pada tempatnya.

“Merelakan? Untuk siapa, hah?” suara Adam mengeras. “Cukup! Dan aku tak lagi memerlukan cintamu.”

Perlahan langkah kaki Adam dan Habi memudar dari hadapan Nurmala. Tak dapat lagi ia meneteskan air mata untuk menangisi kepergian dua laki-laki yang telah menjadi dua sayap di balik punggungnya. Ia hanya dapat menatap kepergian mereka samar dengan tatapan sayu. Entah itu sakit atau sedih.

Dengarlah kasihku, tidak pernah sekalipun kukhianati cintamu. Percayalah, cintaku tetap utuh untukmu. Maaf bila kehadirannya salah bagimu. Namun aku membutuhkan perisai yang tak dapat kauberikan padaku, kasih.

Cinta sucimu tetap terjaga di dalam lubuk hatiku. Cintamu utuh, Sayang. Utuh dan akan tetap bersemayam selamanya hanya di dalam hatiku.

Aku tahu engkau sakit, aku mengerti engkau terluka, karena kau mengira bahwa aku telah membagi cintamu dengannya. Tapi demi Tuhan, rasaku untukmu tak pernah sama dengan rasaku untuknya.

Aku mencintaimu, kasih. Selamanya akan tetap seperti itu.

SKS CERIA

Bojonegoro, 6 November 2010

0 komentar:

Post a Comment