Thursday, December 31, 2009

cerpen : ‘Billy’ku maling hatiku

Buntu ! aku benar-benar nggak punya inspirasi untuk meneruskan cerpenku yang sudah tersusun satu paragraf di komputerku. Aku membanting keyboardku kesal sebelum akhirnya aku memastikan ia baik-baik saja. Good, itu memang pelampiasan yang salah kaprah.
Aku berjalan menuju dapur untuk membuat segelas kopi panas. Semoga saja bisa membuat kepenatanku sedikit menghilang. Aneh, nggak biasa-biasanya aku susah cari inspirasi. Kalau dipikir-pikir, kehidupanku yang sekarang memang belum penuh dengan sesuatu yang bisa jadi inspirasi yang menarik.
“Bikin apa Cha ?” tanya kakakku, Rio mengagetkanku.
“Buset dah ! hampir aja ini kopiku tumpah Mas,” jawabku sedikit membentak.
Mas Rio melihat jam yang terletak di dinding dapur. “malam-malam gini bikin kopi ? mau begadang ?”
Aku mengangguk. “Mau cari inspirasi,”
“Halah, gaya ! kayak kamu penulis penting aja ?” seru Mas Rio lalu mengacak-acak rambutku kasar.
“Eh, hati-hati Mas kalo ngomong ! suatu hari nanti adikmu yang cantik ini pasti bisa kayak Kahlil Gibran,” seruku yakin. Aku menyeruput kopiku dengan gaya percaya diri dan angkuh.
Mas Rio berbalik dan menunggingkan pantatnya ke arahku, memperlihatkan garis celana dalam di balik celana boxernya. “Maaaasa sih ?” serunya lalu lari menjauhiku; masih dengan pantatnya yang menungging.
“Awas lo ya !”
Hmmm, aku jadi dapat inspirasi dari pantatnya Mas Rio.

Ahhh, akhirnya selesai juga. Aku sandarkan tubuhku memandangi cerpenku yang baru saja selesai dan sudah aku beri judul “PANTAT SERIBU BAHASA”. Dan itu menjadi koleksiku yang ketiga. Aku ingin mencari sensasi baru dengan membuat cerpen karena bosan terus-terusan menyusun artikel yang tidak butuh klimaks.
“HA !!!” aku berteriak kaget melihat jam di HPku yang sudah menunjukkan pukul 00.11.
Aku segera menekan tool bar “save” lalu menyusulnya dengan menturn off komputerku yang sepertinya sudah mulai lelah. Dan ketika hampir saja aku membuka pintu kamarku, mama memanggilku dari bawah. Aku cepat-cepat turun lagi. Mama dari mana sih malam-malam gini baru pulang?
“Kenapa Ma ?”
“Ada martabak nih. Mau nggak ?”
Akhirnya aku tunda hasratku untuk segera merebahkan diri di balik selimut tebalku meskipun mata ini belum benar-benar ngantuk. Hmmm. Martabak, kau benar-benar menggoda lidahku malam ini !

®

Kriiiiiiing !
“Bangun woy ! udah siaaaang,” teriak seseorang di telingaku. Membuatku ikut teriak karena kaget. Dan benar saja, Mas Rio yang mengganggu mimpi indahku ketemu Andrea Hirata. Aku melirik jam weker yang dipegang Mas Rio.
“Sepuluh menit lagi,” aku kembali menutup diriku dengan selimut yang tiba-tiba ditarik lagi. MAS RIO RESE !
“Dasar cewek nggak bakat sukses lo ! udah jam lima juga ! nggak sholat lo ?”
Aku segera bangun dan memakai sandal di bawah tempat tidurku. “Baru bangun pagi sekali aja udah belagu ? udag gede kepala ? udah nungging pantat ? gimana kalau udah lima belas kali ?” ujarku dengan mata masih setengah tertutup. Malas.
“Ngomel aja lo anak kecil ! sholat sana !”
“Dasar kakek-kakek bawel,”
Lagi-lagi Mas Rio mengacak rambutku kasar. Hobi banget sih ?

Aku sudah siap dengan seragam sekolahku. Aku melahap malas roti selaiku. Mataku masih susah untuk dibuka lebar-lebar meskipun bau harum selai cokelatku sangat menggugah selera.
“Makanya kalau tidur jangan malam-malam,” ujar papaku sambil membaca korannya.
“Tadi malam lagi asik Pa,”
Papa melirikku dibalik kaca mata tebalnya. “Asik apaan ? kamu keluyuran ?”
“Ya jelas dong Pa. aku kan emang suka keluyuran kata-kata,”
Tiba-tiba Mas Rio datang dengan gayanya yang acak-acakan. “Lagak lo Cha, Cha !” katanya lalu mengambil roti di piringnya tanpa duduk.
“Ih, terserah aku dong ! daripada lo kerja nggak jelas gitu pakaiannya,” kataku mencibir.
“Aku kan orang lapangan. Ya nggak Pa ?”
Papa hanya menjawabnya dengan anggukan karena sibuk membaca berita terbaru hari ini.
“Hahaha, sukurin lo dikacangin,”
Aku segera berlari mendekati mama sebelum Mas Rio mengacak-acak rambutku lagi. “Ma, berangkat ya ! assalamu’alaikum,” aku mencium tangan mama lalu menghampiri papa dengan kata yang sama.
“Kamu serius Cha ?” tanya mama heran. Dan pertanyaannya membuatku lebih heran lagi. Aku sekilas melirik Mas Rio yang cekikikan tidak jelas.
Aku segera keluar rumah. Dan Mas Rio masih sempat mengancamku di sela-sela cekikikannya. “Awas entar kalau pulang !”
Huh ! sebodo amat sama dia.

®

“Gila ! nyantai banget aku belum ngerjain tugas ?” haha. Ya sudahlah biarin aja. Masih ada banyak alasan yang bisa aku gunakan untuk menghindari hukuman. Tapi…
Aneh banget. Kok cuma ada pak kebun sih ? ini kan sudah hampir jam setengah tujuh. Pada ke mana nih ?
“Kok kelasnya juga sepi banget gini pada ke mana ya ?” aku melangkahkan kaki menuju bangku depan deretan kedua dari pintu masuk tempatku biasa duduk. Bahkan teman sebangkuku yang terkenal selalu datang paling awal pun sekarang belum kelihatan batang jidatnya. Aku meletakkan tasku malas. Hhhh.
“Dasar Andin ! nggak biasa-biasanya dia telat,”
Aku memandang papan tulis di depanku yang penuh dengan coretan nggak jelas. Tanpa sengaja aku melirik kalender yang terletak di samping papan tulis. Ada satu tanggal merah di bulan ini. Tanggal 18 libur, hari apaan tuh ? jumat ? sekarang juga hari jumat kan ? APES !
“itu kan hari ini ????”

®

“Mas kok nggak bilang sih hari ini hari libur ? aku kan jadi kayak orang bego. Pasti orang-orang udah nganggep gue sinting lagi,” kataku dengan nada keras. “Untung aja nggak sampe siang,” kali ini setengah berbisik.
Mas Rio masih terus menertawakanku sambil memegangi perutnya. “ Siapa suruh lo pikun tanggalan ?”
Aku menggerutu. Seharusnya tadi aku langsung pulang ke rumah saja daripada mampir ke distronya Mas Rio malah diketawain gini. Dasar nggak berperikesaudaraan. “Nggak fair lo Mas,”
Mas Rio masih tetap tertawa sampai pengunjung melihatnya aneh. Sukurin lo ! biar semua kapok nggak mau datang lagi ke sini. Mungkin mereka pikir Mas Rio ini lagi kena ayan. Haha.
“Udah mulai rame nih. Aku pulang aja deh ! distro lo aneh banget ! masih pagi buta gini udah buka aja,” kataku melihat sekelilingku yang udah mulai banyak orang.
Mas Rio mengacak-acak rambutku kasar (lagi). “Dasar cekok lo ! time is duwit man,”
“Huh, terserah deh !” aku berkacak pinggang. “mutu duwitun lo !”

Aku keluar dan mendobrak pintu dengan kasar.
Rame banget ? bikin telinga risih aja? ada apa sih ? aku semakin mempercepat langkah kakiku mencoba menghiraukan apa yang sedang terjadi di sekitarku; tepatnya di belakangku. Tapi tiba-tiba ada seseorang menubrukku dari belakang dan sontak membuatku mengeluarkan kata-kata aneh yang sulit dicari di dalam kamus besar bahasa Indonesia.
“Gila lo !” aku menyumpahi seseorang yang begitu menyilaukan mengenakan topi hitam dan berkaos putih yang baru saja menabrakku, membuat lenganku sedikit memar. “Kalo nggak kelihatan orang segede aku, pake kaca mata kuda nil sekalian !”
“Sorry sorry ! gue lagi dikejar orang nih,” serunya terengah-engah. “Eh, kabur, kabur !”
Aku ditarik paksa mengikuti langkahnya yang terburu-buru. Tiba-tiba datang segerombolan orang dari belakangku dan berteriak-teriak. Dan sebagian mereka ada yang berteriak sama. “MALING ! JANGAN KABUR LO !” Lalu buat apa orang yang diteriaki ‘maling’ ini menyeretku ? apa untungnya ?
Dan sekarang baru aku sadar bahwa orang yang sedang mengajakku lari ini adalah seseorang berandalan yang sangat berbahaya. Gawat ! jangan-jangan nanti aku juga dimalingin lagi.

®

Sebuah tempat yang terkucilkan. Banyak tumpukan barang di sana sini. Uhh, aku merasa jijik sekali dengan tempat di mana aku sekarang berdiri. Dasar maling nggak waras !
“Lo di depan aja ! awasin kalau ada orang yang datang,” serunya tersendat-sendat dengan nafas tidak beraturan sama sepertiku sekarang ini. Terkutuk katak kau maling sialan !
“Udah nyolong, suka merintah lagi ! dasar ! emang aku pembokat lo apa ?” kataku berkacak pinggang sebal. Akhirnya aku mengalah dan duduk di sela-sela barang agar si maling juga nggak kelihatan, walaupun aku harus menahan rasa jijikku berulang kali. Mau jawab apa kalau nanti ada orang yang menanyakan keberadaannya ?
Dan benar saja ! tiba-tiba ada kerumunan orang laki-laki datang menghampiriku. “Mbak tadi lihat orang pake topi hitam kaosnya putih lari lewat sini nggak ?” tanya salah seorang dari mereka yang memiliki kumis tebal dan rambut agak gondrong. Apa pikirnya melihatku duduk di tempat kumuh ini ?
Aku pura-pura mengingat. Memainkan rambut pendekku dengan jari telunjuk; mataku berputar. “Tadi sih ada, kayaknya aku lihat. Dia lari ke arah rumah-rumah sana tuh sambil bawa pembalut wanita. Mungkin dia lagi bocor mas,” kataku menunjuk salah satu rumah yang ada di perumahan dan entah itu rumah siapa.
Mereka bergumam mengumpati si maling itu. Dan mungkin menganggap alasanku adalah alasan yang aneh dan menggelitik. Tapi biar aja deh, toh itu yang tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Asem ! Dasar maling miskin nggak pernah makan nasi tuh !”
Aku menahan tawa mendengar celoteh salah satu dari kerumunan laki-laki di depanku. Kalau semua maling kaya mah nggak akan nyopet juga kali. Mending jadi juragan malingnya aja !
“Ya udah Mbak, makasih ya !”
Aku mengangguk cuek sebelum akhirnya mereka kembali dengan nada kecewa dan bergumam menyumpahi maling yang sekarang sedang memasang tampang tanpa dosa di belakangku. Makmur amat hidup lo ? Huh, lihat aja nanti ! aku laporin pak Calak lo ! biar disunat !

®

“Untung aja mereka percaya sama alasanku. Coba kalau nggak percaya, bisa jadi aku yang digebukin !” celotehku marah sama si maling itu yang sekarang sedang asyik mneghitung uang hasil kerjanya. Dasar maling kelewat bodoh ! masa susah-susah nyolong sampai dikejar-kejar dapetnya malah seribuan gitu sih ?
“Belum beruntung nih,” gumamnya mendengus kesal sambil menatap uang kumal yang ada di genggamannya.
“KL deh ! kapok lo ! gosok aja lagi. Siapa tau ANDA BERUNTUNG,” sahutku tidak kalah kesal sengaja menekankan dua kata terakhirku.
Si pencopet itu menoleh ke arahku yang duduk di belakangnya; masih di tempat barang bekas. “Sewot aja sih lo dari tadi ? nih gue bagi sepuluh lembar !” ujarnya menyodorkan sepuluh lembar uangnya yang baunya sangat amis. Nggak kalah amis sama bau badannya.
Aku menutup hidung dan mengerutkan dahi jijik.
“Ih, buncis kulbis najis amis deh ya aku makan pake uang kotor lo itu ! udah kumel, bau ikan lele lagi ! lagian lo tadi nyolong di mana sih ?”
“Pasar ikan,” jawabnya santai. Aku melemparinya dengan kaleng bekas yang aku temukan tergeletak di sampingku. “Ancur !” serunya kaget.
Aku tertawa sejadi-jadinya. “Badrun lo ! nyolong di tempat rame, cari mampus namanya ! ini deh akibatnya nggak ada STP, Sekolah tinggi Permalingan. Malingnya pada bego,”
Aku memegangi perutku yang kaku karena tertawa.
“Aduh !” ternyata si maling itu melemparkan kaleng tadi dan mengenai jidatku. “Sialan !”
“Daripada gue nyolong BH di pasar pakaian ?” katanya santai.
“Intinya lo tuh nggak bakat banget nyolong duwit ! lihat aja dompet colongan lo itu ! kumel, bau ikan, isinya nggak berbobot lagi ! dasar apes lo !”

®

Lahap. Seperti sudah tidak makan tiga hari tiga malam. Orang di depanku ini begitu bersemangat untuk segera menghabiskan makanannya tanpa menghiraukanku dan menawariku sama sekali; meskipun sebenanya aku tidak ingin makan.
“Eh, Badrun ! aku nggak tau tempat ini ! gimana aku pulangnya ?” tanyaku membuatnya sedikit tersendat.
“Nama gue Billy,” jawabnya pendek sempit.
“AKU GIMANA PULANGNYA ?” semua orang menoleh ke arahku, tidak terkecuali Billy-si maling-bego.
Billy tetap melanjutkan makannya. Huh ! apa dia nggak tahu kalau sekarang sudah lewat jam maghrib ? aku bisa diomelin sama mama. Untung aku lagi red mark.
“Eh, gue lagi nggak pengen pake kuah ya ! jadi ngomong lo tuh mingkem aja. Nggak usah muncrat-muncrat !”
Ih, sok banget ngomongnya ? kayak orang kaya aja ! padahal makan aja makan nasi kucing gitu ! tobat deh ! emaknya nyidam apaan ya kok bisa punya anak model gitu ? jadul banget ! eits, tapi aku nggak bisa bohong kalau dia tuh manis banget, meskipun ada asinnya sedikit.
“Terserah lo deh ! yang penting aku pulang dengan selamat.”
Billy menghentikan kunyahannya. Uhh, mulutnya belepotan banget ! dasar jorok. “Hah ? jadi lo nggak mau pulang sama gue ? mana si selamet ?” katanya celingukan.
Uhhhhhhh, nyebelin banget sih ! pengen deh rasanya aku lemparin sepatu ketsku yang belum aku cuci dua bulan ini ke mukanya !

®

“Ngomong-ngomong, nama lo siapa sih ?”
Aku menoleh ke arah Billy yang sekarang sedang menemaniku berjalan kaki setelah sekitar tiga puluh menit tadi berdiri desak-desakan di bus. “Ocha. Emangnya kenapa ?” oke, itu adalah pertanyaan yang sama sekali tidak kreatif.
Billy memasukkan tangannya ke dalam saku celana jinsnya. “Lumayan,”
Aku mengerutkan dahi. “Apanya ?”
Billy hanya tersenyum. Ups ! sejak kapan aku mulai deg-degan nggak karuan waktu ngelihat cowok senyum ? gawat ! pertanda apaan ini ? huhf, jangan bilang ini ada hubungannya dengan cinta.
“Kenapa lo ngelus-ngelus dada gitu ?” tanya Billy di sela-sela langkahnya yang santai. Meskipun begitu, aku harus berulang kali menyamakan langkah kakiku yang dua kali lebih sempit darinya. “Muka lo merah tuh,” gumamnya tersenyum, lagi.
“Apa sih ? urusan aku dong !” kilahku.
Aku terus mencoba menyamakan gerak kakiku dengan Billy untuk tetap bisa berjalan di sampingnya. Dasar cowok ! kenapa sih badannya gede banget ? padahal, makannya juga sama saja asalnya dari padi. Sekarang, salah siapa kalau aku semakin deg-degan berada di dekat Billy ?
“Udah deh, nyampe di sini aja ! lain kali nggak usah nyolong lagi ! nyusahin orang aja,” cerocosku. Dan Billy tetap saja dingin dan cuek meskipun tadi tersenyum.
“Apa urusan lo ?”
“Ya udah deh terserah lo aja. Aku mau masuk !”
Tanpa menghiraukan Billy, aku buka gerbang rumahku dan meninggalkannya. Sudahlah ! semoga ini
pertama dan terakhir kalinya aku ketemu orang macam dia (Apa benar itu harapanku ? atau sebaliknya ?).
Dan benar saja, mama sudah melotot di depan pintu.
“Ocha ! uang jajan kamu Mama potong seminggu !”

®

“Bandel lo !”
“Apa sih ? ikut-ikutan aja lo anak kecil !”
Aku berkacak pinggang marah ketika mendapati Billy sedang mencoba mengambil dompet seseorang di halte bus. Bukan beruntung baginya karena aku sudah memergokinya dan menyuruhnya untuk mengembalikan dompet itu ke pemiliknya.
“Apa lo nggak punya tujuan hidup ?” aku menggelengkan kepala heran. Meskipun agak canggung karena aku dan Billy sedang berada di taman kota; yang artinya adalah tempat umum.
“Tujuan hidup ? gue cuma punya satu.”
“Apa ?”
“Bertahan hidup tanpa orang lain,”
Aku tertawa mengolok. “Apa lo bilang ? tanpa orang lain ?” aku mendekati Billy yang berada di satu batu besar yang sekarang ia duduki. “Apa dengan lo nyuri, lo udah nggak ngerasa butuh orang lain ? yang ada lo bikin mereka semua susah Bil,”
Billy tetap diam. Memasang mata tanpa ekspresi apapun. Aku tahu, ada sesuatu yang salah di dalam dirinya hingga membuatnya seperti ini. Tapi aku tidak terlalu cerdik untuk menebak itu semua. Billy terlalu pintar memainkan ekspresi. Bahkan saat dia mencuri pun, lebih terlihat seperti sales yang kebingungan mencari ibu-ibu arisan.
“Harusnya lo nyadar itu !”
Billy tiba-tiba berdiri. Dahinya berkerut dengan sorot mata tajam. Ia mencengkeram bahuku sampai-sampai membuatku lupa bagaimana caranya bernafas dengan baik ketika aku sedang berdebar. “Lo tuh cuma anak kecil yang nggak tau apa-apa !”
Billy berlalu tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Punggungnya terlihat berat di mataku. Ada sebongkah kekosongan di antaranya yang begitu gelap dan mungkin menyakitkan. Billy, lo memang tangguh !

®

Sehari setelah pertemuan terakhirku dengan Billy, aku masih melihatnya terduduk sendiri di halte bus. Dan seperti biasa, matanya tetap menyorot tanpa ekspresi. Seperti ada air mata yang tertahan hampir jatuh di ujung kelopaknya. Bahunya kian rapuh.
Dan sekarang, sudah hampir seminggu aku tidak lagi melihat sosoknya di halte bus. Aku mulai mengkhawatirkan seseorang yang tidak terlalu aku kenal itu. Aku hanya mengenal matanya. Matanya yang diam. Dan rasanya aku ingin sekali membuang keredupan di dalam mata itu. Billy, lo di mana ?
Pletak !
‘Badrun !” umpatku. Aku ambil benda yang tergeletak di depanku yang kini sedang asyik mengaduk-aduk mie ayam di bangku kantin tanpa sedikitpun menjejalkannya di mulutku.
Andin, teman sebangkuku sekaligus teman dekatku tertawa geli mendengar umpatanku. “Ngelamun aja lo ? bukan lo banget Cha !”
Aku tersenyum kecut. Sejak kapan aku mulai berubah menjadi sosok yang bukan OCHA ? “Emang aku ini terlihat kayak siapa sih An ?”
Andin mengetuk dahinya dengan jari telunjuk, gaya orang yang sedang berpikir. “Kayak orang lagi jatuh cinta,”
Glek ! aku menelan ludah saking kagetnya. Ah, tidak mungkin aku jatuh cinta sama orang yang baru aku temui dua kali; walaupun aku sudah beberapa kali melihatnya. Aku dan Billy masih terlalu jauh. Lagipula aku tidak tahu asal-asul dia yang sebenarnya seperti apa.
“Kok diam ?” sahut Andin membuyarkan lamunanku. “Hmm, nggak salah lagi kan ?” ujarnya lalu tertawa kecil. Sepertinya mukaku saat ini sudah sangat merah. Kenapa sih aku ini ? aku sendiri masih bingung mendeskripsikan tentang apa yang aku rasakan. Apa yang aku tahu tentang Billy sehingga Andin menyimpulkan wajahku ini adalah wajah cewek 17 tahun yang sedang jatuh cinta ?
“Aku juga masih cari tau An.”

®

“Makan nih !” seru seseorang menyodorkan setoples keripik singkong. Ternyata Mas Rio. Tumben baik ?
“Nggak deh nanti aja,” jawabku singkat. Aku sedang sibuk menarikan jariku di atas keyboard untuk membuat cerpenku yang keempat. Entah kenapa, aku selalu bingung menentukan klimaks dan antiklimaksnya. Dan sepertinya itu sedang terjadi di dalam kehidupanku yang berada di antara klimaks dan antiklimaks yang tidak menentu.
Mas Rio duduk di kasurku dan membuka toples keripik yang ia bawa. “Nulis aja kerjaan lo ?”
Aku tersenyum kecut.
“Tumben banget akhir-akhir ini lo jadi murung gitu ?” tanya Mas Rio. Dan oke ! itu adalah pertanyaan yang tidak ingin aku jawab apalagi aku dengar. Tapi Mas Rio terlanjur melontarkannya tanpa sepengetahuan dan persetujuanku.
“Menurut lo kenapa ?”
Mas Rio menghentikan keripiknya -bahkan tidak menelannya- memikirkan sesuatu. “Lagi dapet kali ya ?”
Pletak ! aku menimpuk kepala Mas Rio dengan pulpen yang tadi tergeletak di depan monitor komputerku.
“Anjrit lo ! gu___”
“Nggak usah bales ! aku lagi malas Mas. Please nggak usah becanda dulu hari ini. Oke ?”
Mas Rio mengacak-acak rambutku kasar-kebiasaan. “Santai aja lagi. Emang lo kenapa ?”
Aku menggeleng sebelum akhirnya Mas Rio meninggalkan kamarku dan melupakan keripiknya. Entah bagaimana ekspresinya tadi. Akhirnya, moodku jadi menghilang seiring menghilangnya semua inspirasi dan imajinasiku untuk melanjutkan cerpen yang sudah aku ketik dua halaman.

®

“MALING ! MALING ! MALING !”
Aku yang sedang berjalan pulang dari sekolah ikut gugup karena teriakan MALING itu. Karena saking penasarannya sama segerombolan orang yang sibuk berlari di depanku itu, aku berniat untuk ikut berlari mengikuti ke mana mereka berlari. Karena aku berlari di belakang mereka dan mereka lebih tinggi daripada aku, aku jadi tidak bisa melihat di mana malingnya ? aku hanya ingin memastikan bahwa maling itu bukan Billy.
Segerombolan itu akhirnya berhenti berlari dan membentuk bundaran; meskipun mungkin mereka tahu mereka di tengah jalan. Aku tidak berani mendekat karena mereka sedang sibuk menghakimi maling yang sudah berhasil mereka tangkap dan kini sedang berada di bawah mereka. Terdengar suara gebukan yang cukup nyaring di telingaku.
“Rasain lo ! nggak kapok-kapok juga lo ngerampokin orang ?” ujar salah satu orang yang berada di gerombolan itu. Akhirnya mereka berhenti. Mungkin si maling sudah tidak layak dipandang; lebih tepatnya sudah tidak berbentuk.
Aku tidak sedikitpun mendengar perlawanan atau rintihan dari si maling. Akhirnya mereka meninggalkan si maling dengan membawa serta tas yang tadi hampir raib. Syukurlah.
Dari kejauhan aku lihat si maling itu merintih kesakitan dan tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya. Mukanya penuh memar dan aku lihat ia memandangi sikunya yang berlumuran darah. Tapi tunggu dulu ! topi hitam yang ia kenakan itu, mengingatkan aku pada sesuatu. Ah, apa hanya topinya yang sama ? tapi tidak ! rambut keritingnya mirip sekali dengan rambut Billly.
Akhirnya aku beranikan diri untuk mendekat dan memperhatikan wajah memar itu. “Billy ?”
Si maling itu menoleh ke arahku dengan raut muka kesakitan. Ia tersenyum. “Hmm, kita ketemu lagi anak manis !”
Memang benar Billy.
Aku mendekat dan menampar Billy yang masih tergeletak di atas aspal. Billy tidak mencoba memegangi pipinya. “Apa-apaan lo ?” seruku marah. Tapi apa hakku untuk marah sama Billy ?
“Emangnya lo apa ?” sahutnya cuek. Dan tersenyum mengejek. Sangat sinis, pikirku.
“Sudahlah ! bukan urusanku !”
Aku berbalik hendak meninggalkan Billy yang sudah dulu menarik lenganku.
Billy menggeleng dengan ekspresi yang susah aku tebak. Apa sih ? itu hanya akan membuatku semakin bingung dengan perasaanku.

®

“Lo sekarang ngerti kan ?” serunya setelah aku selesai memberikan antiseptik di mukanya yang lebam dan sikunya yang luka-luka.
Akhirnya baru aku tahu kenapa dia memberanikan diri untuk melakukan pekerjaan kotor itu. Akhirnya baru aku tidak bisa hanya menumpahkan kesalahan sepenuhnya sama Billy. Ternyata dia terlalu rapuh. Dia terlalu lemah untuk tidak melakukannya. Ini semua lebih kepada kedua orang tuanya yang bercerai sehingga menyebabkan Billy berubah dari Billy yang semula aktif dan tidak pernah tinggal diam.
“Kenapa lo nggak coba menghindar ?”
“Sudahlah ! jangan dibahas,” tukas Billy, mencoba menghentikan niatku untuk membahas kekejaman ayahnya yang suka berjudi dan memaksanya mencuri. Menyebalkan !
Billy terlihat murung. Ditenggelamkan kepalanya dalam-dalam. Sepertinya dia sudah sedikit memercayaiku, sehingga dia mau lebih mengekspresikan bagaimana perasaannya saat ini.
“Mau pesan apa Mbak ?” seorang pelayan mendatangi meja tempatku dan Billy duduk. Aku memang sengaja mengajaknya ke café.
“Mau apa Bil ?” aku balik bertanya kepada Billy yang masih menundukkan kepalanya.
Ia hanya menggeleng. Aku mengerti.
“Jahe aja Mbak, dua.” Jawabku kepada pelayan. Ia tersenyum lalu mencatat pesananku di nota yang ia bawa lalu menyerahkannya kepadaku.
Aku mengambil selembar uang dua puluh ribuan –uangku yang paling besar- kemudian aku serahkan kepada pelayan berambut kucir kuda di depanku itu.
“Terima kasih,” ujarnya. “Ditunggu sebentar ya Mbak,” pelayan itu berbalik memunggungiku lalu berjalan dan semakin menjauh.
Kualihkan perhatianku kepada Billy. Sekarang dia tidak lagi menunduk, melainkan menatap ke luar jendela. Di sana ia bisa melihat gemericik air yang keluar dari tebing buatan. Sangat menenangkan bagiku, mungkin juga bagi Billy.
“Cha,” panggilnya tiba-tiba, tanpa sedikitpun melihatku -bahkan- melirikku.
“Hm ?”
“Gue lihat air itu, gue jadi inget lo terus.” Serunya membuat pipiku memanas. Mungkin sekarang sudah merah padam entah seperti apa. Aku malu.
Aku mencoba tertawa, meskipun agak canggung. “Emang apa yang lo lihat dari air itu ?”
“Ketenangan.” Jawabnya singkat. Kini ia memandangku lekat.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela karena malu. “Aku rasa lo berlebihan.” Tegasku sedikit tertahan. “Kita baru beberapa kali ketemu,”
“Gue selalu merhatiin lo yang lagi celingukan cari gue di halte,”
Nafasku tertahan. Ada apa sih denganku ? sepertinya aku tidak pernah semalu ini waktu Novan -mantan pacarku- menggodaku dengan rayuan gomblanya. Aku lagi-lagi dipermainkan perasaanku sendiri.
“Buat gue, kita sudah berkali-kali saling berharap.” Ujarnya terdengar tulus.
“Lo tau itu ? kenapa lo nggak muncul ?” protesku. Kali ini aku beranikan untuk melawan rasa maluku memandang Billy. Aku tidak bisa membohongi mataku bahwa dia membuat jantungku benar-benar berdenyut lebih cepat dari seharusnya.
“Gue cuma pengen memastikan,”
Aku benar-benar berharap pelayan tadi segera datang membawakan pesananku supaya aku tidak perlu berlarut-larut membiarkan debaran jantungku ini menyiksaku lebih lama.
“Tentang apa ?”
“Sesuatu yang dalam,”

®

“Sesuatu yang dalam,”
Matematika pagi ini menyebalkan. Keluar masuk begitu saja di telingaku tanpa sedikitpun aku memahami setiap kata yang keluar dari mulut Bu Indah; guru matematika di sekolahku.
Aku tidak berani menanyakan apa maksud kalimat yang diucapkan Billy waktu itu. Apa dia juga sedang mengalami gejolak perasaan yang sama denganku ? dan tidak bisa mendeskripsikan sedikitpun sesuatu yang mungkin sudah benar-benar nyata terlihat ?

Ternyata sampai jam matematika berakhir pun aku tetap tidak bisa menebak.
“Cha, ikut nggak ?”
Aku tidak sadar ternyata Andin sudah begitu panjang lebar berbicara sesuatu padaku. “Hm ?”
Andin menarik lenganku tanpa meminta persetujuanku. “Udah deh ikut aja !”

Di mall. Mau apa sih anak ini ? beli BH ? uhh, malas banget kalau harus menemani dia mencoba BH ini dan itu.
“An, aku pulang aja deh !”
“Tunggu sebentar. Paling-paling nggak lama lagi dia dateng kok,”
Dia ? siapa ? aku lebih memilih diam daripada harus meminta penjelasan dari Andin tentang kata-katanya tadi.
Andin menepuk lenganku-sepertinya tiga kali. “Itu dia ! yang pake topi hitam !”
“Siapa sih ?”
“Abang aku ! aku janjian ketemu sama dia ! dia nggak ikut mama sama aku ! jadinya kita jarang ketemu,”
Aku memandang ke arah yang ditunjuk Andin. Aku menemukan satu orang yang memakai topi hitam -sekarang lagi berjalan menuju Andin- dan juga aku tentunya. Aku tidak begitu jelas dengan wajahnya. Tapi rambutnya…
“Hai Ndin !”
Suara itu familiar buat aku. Sangat amat familiar. Baru kemarin aku mendengarnya.
“Hai Cha !” oh. Sekarang dia menyapaku.
Aku memandang Andin yang sepertinya kaget.
“Kamu kenal abang aku ?”
“Beberapa kali kita ketemu,” jawabku singkat. Semoga saja Billy tidak menyadari kalau suaraku ini benar-benar bergetar.
------------
“Jadi gitu ceritanya ?”
Aku mencoba mengarang cerita tentang awal pertemuanku dengan Billy. Aku yakin Billy tidak pernah menceritakan tentang kondisinya sekarang ini.
“Gue nggak nyangka lo temen deketnya Andin.” Ujarnya sambil menyeruput cappucinonya hati-hati. “Tau gitu gue minta dikenalin dari dulu,” Billy tersenyum memandangku. Aneh. Rasanya nggak jujur.
“Cha ! kok kamu diem aja sih ? biasanya ngomong nggak pernah pake titik koma tanda tanya ?” Andin benar-benar tidak mendukungku kali ini.
Aku mengaduk-aduk jus stroberiku tanpa sedikitpun memandang Andin ataupun Billy. Kakak beradik yang tidak begitu kontras. Hanya saja, rambut Andin tidak sekeriting Billy. Bisa dibilang lurus.
“Cha !” ternyata aku sadar, aku mengharapkan suara itu lagi.
“Kenapa ?”
“Apa ada yang salah sama gue ?” tanya Billy dengan nada penasaran.
Aku menggeleng. Aku mengeluarkan HP dari sakuku. Dan memberanikan diri menyodorkannya ke Billy. “Catet nomor HP lo,”
Billy memandangku aneh. Aku memang aneh. Gara-gara kamu. Gara-gara pertemuan yang aneh itu juga. Gara-gara senyummu dan matamu yang tidak berekspresi itu.

®

“Udah berapa kali lo ngelihatin HP kayak gitu ?” Mas Rio mengagetkanku. Kunyahan keripik singkong di mulutnya sangat menggangguku. Dasar kayak anak kecil !
“Kayaknya nih HP bagus banget buat nimpuk mulut lo itu Mas !” ujarku geram. Melotot.
Dia mendekatiku dan ikut duduk -ala “L”- di sofa ruang tamu. Hmm, aku sudah mencium bau usil dari gelagat Mas Rio yang nyengir memperlihatkan dua gigi kelincinya yang besar, untung saja tidak panjang dan maju.
“Mau apa sih lo ? jauh-jauh sana !” aku mengibaskan tanganku, memasang tampang sejijik mungkin.
Tiba-tiba terdengar suara aneh di dekatku. Dan beberapa detik kemudian disusul dengan bau menyengat yang sulit terdefinisikan. Tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk menikmati bau sengak itu aku langsung menutup hidung dengan tangan kiriku. Uuh, baunya masih samar tercium. Aku baru sadar ternyata…
“Mas Rio ! lo kentut ya ?” aku memelototi cowok yang sedang memasang tampang ‘tidak berdosa’-nya itu di hadapanku.
“Lega banget Cha ! emang beda kalo kentut di deket lo !” Mas Rio nyengir.
Hhhhh ! lama-lama aku bosan bosan bosan punya kakak aneh kayak Mas Rio ! aku layangkan majalah yang aku ambil di bawah kolong meja di depanku ke wajah Mas Rio yang masih nyengir aneh.
Aku meninggalkannya. Mencoba untuk mengumpulkan kembali konsentrasiku yang tadi buyar gara-gara insiden gila itu. Dan akhirnya aku berhasil. Sekarang pikiranku benar-benar sudah kembali terpusat kepada pertemuan singkatku tadi siang dengan Billy dan adiknya yang tentu saja teman dekatku; Andin. Aku masih menunggu Billy menghubungiku.
Dan sepertinya sadarku terlambat amat sangat jauh. Aku baru tersadar bahwa aku hanya memintanya menyatatkan nomor HPnya tanpa memintanya menyatat nomor HPku. Dasar bego nggak ketulungan !
“Bego !” aku memukul sendiri keningku; walaupun tidak sakit sedkitpun. Di dalam hati terkecilku aku berharap dia juga sedang benar-benar menunggu telepon atau SMS dariku.
Dilema menghantuiku. Antara gengsi untuk memulai meneleponnya dan keinginanku yang mendalam untuk sekali lagi mendengar suara rendahnya. Oh Tuhan ! ada apa denganku ?
Drrrrt… drrrt…
Aku menerima panggilan masuk setelah hampir getaran ketiga.
“Halo ?”
“Halo Cha !” suara Andin yang melengking di seberang sana membuatku sedikit menjauhkan HP dari telingaku.
“Tarik nafas dulu An,”
“Abang aku jadi aneh tau nggak sih semenjak pulang dari mall. Dia sekarang nginep di rumahku,”
“Terus ?” aku menyembunyikan keherananku dengan bernada secuek mungkin.
“Dia ngelihatin HPnya melulu. Mandi aja dibawa !”
Hmm, sepertinya Andin berhasil membuatku gede rasa. “Emang di HPnya ada apaan ?”
“Aku rasa dia nungguin telepon atau SMS dari kamu Cha !”
---------
Pembicaraan yang cukup panjang di telepon membuatku ngantuk malam ini. Tetapi perasaan senang yang berbekas sekarang ini membuatku ketagihan. Rasanya ingin sekali mendengar suaranya lebih lama sampai aku terlelap dan tidak sadarkan diri.
Aku rebahkan tubuhku di ranjang dan menutup sebagian tubuhku dengan selimut. Kamar ini terasa beda. Lebih bersih di mataku; walaupun memang selalu bersih.
“Mimpi indah Billy,” gumamku seraya menutup mata perlahan di antara sunggingan senyumku.

®

“Lo sering ke sini ?”
Billy mengajakku ke studio musik seperi janjinya di telepon. Hal baru bagiku.
“Nggak juga. Hari gue penuh dengan kerjaan nunggu orang lewat di halte,” ujarnya. Lalu tertawa lepas namun terpaksa.
Aku tertawa sinis. “Nggak lucu, bego !”
Billy menghiraukanku. Ia mengambil salah satu gitar yang tergeletak di antara alat-alat musik lainnya. Dia mengambil kursi yang awalnya aku kira ia akan duduk, ternyata untukku.
Billy memeriksa senar gitar dengan teliti, selanjutnya menekan salah satu senarnya entah untuk apa. Aku tidak pernah mengerti tentang gitar. Bodoh ! aku merutuk diriku sendiri yang tidak mengenal apa yang dikenal Billy.
Kemudian ia mulai memetik senar gitarnya perlahan.
“Mau lagu apa ?” tanyanya padaku. Tersenyum. Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memanas karena malu.
“Terserah lo aja. Aku nggak terlalu hafal musik,”
Billy mulai memainkan gitarnya. Gerakan harinya sungguh memukau. Aku tidak pernah secara langsung melihat orang lain bermain gitar. Hebat !

Yang kini engkau cinta sebagai bintang hati
Dan teruslah berpijak hingga saat kau lelah
Kau hanya bisa temani untukku saja

Hingga esok ku berarti betapa cintaku
Untuk kau hias sebagai bintang hatimu
Hingga hari sekian cintamu utuh bersamaku
Engkau dinda yang ku puja teruslah bermimpi indah
Hingga hariku menjemput impian

Engkau dinda yang ku sayang teruslah berharap
Bahwa aku bintang hati yang terindah
Bila usai cintamu ku hanya bisa nyanyikan lagu ini untukmu

Lagunya September band. Aku ingat itu. Tanpa aku sadari, mulutku terbuka sekian lamanya melihat permainan Billy yang hebat tadi. Keren banget !
“Gimana ?” tanyanya meminta pendapatku.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal sama sekali. “Hebat !”
Billy tersenyum puas lalu meletakkan gitarnya. Ia mendekatiku. Sangat dekat hingga aroma tubuhnya menusuk hidungku. sepertinya dugaanku kalau dia jarang mandi salah.
Lagi-lagi wajahku memanas.
“Baru kali ini gue ngerasa bebas jadi diri gue sendiri,”
Aku mendongak menatap matanya yang menerawang. “Kenapa gitu ?”
Ia menggeleng. “Lo tau sendiri gue seperti apa kan ? dan gue tertekan dengan semua itu,” matanya tetap menerawang, namun kali ini tatapannya marah.
Entah apa yang mendorongku untuk mendekatinya dan memeluk erat tubuhnya. Dadanya yang aku kira bidang dan kuat itu ternyata sangat rapuh. Dia sendirian. Dia tertekan di antara banyak masalah dalam keluarganya. Itu yang kini aku lihat.
Billy membalas pelukanku erat. “Baru kali ini juga ada orang yang mau ngertiin gue,”
Aku tenggelam dalam pelukannya. Yang aku inginkan sekarang adalah Billy tidak merasa sendiri lagi. Karena aku pasti mau memberikan tempat untuk dia menjadi dirinya sendiri. Aku harap orang yang dia maksud bukan orang lain.

®

Hebat ! pelajaran sastra Indonesia hari ini terasa sangat mudah dan menyenangkan sekali. Gurunya pun terlihat lebih manis di mataku. Apa dia ganti gaya alis ya ? biasanya kan alisnya tinggi banget kayak tokoh-tokoh antagonis di sinetron.
“Ngapain kamu ngelihatin Bu Siska ?” tanya Andin menyenggol bahuku pelan namun cukup mengagetkanku. Kebiasaannya yang selalu ingin tahu.
Aku tersenyum lebar.
“Dia kelihatan cukup nyenengin hari ini,” ujarku memandang Bu Siska.
Andin mendengus. Tidak menyetujui pendapatku. Karena menurutnya, Bu Siska sama saja setiap hari. Menjengkelkan.

Drrrrt…
HPku bergetar satu kali di saku rokku. Tanda ada SMS masuk. Aku rogoh sakuku untuk mengambil HPku tanpa ketahuan sedikitpun.
Aku terkejut melihat nama pengirimnya.
Nice day, manis !

Tanpa aku sadari, bibirku menyungging senyum. Dan Andin menyadarinya. Akhirnya aku harus berlapang dada menerima dia meledekku macam-macam dalam gumamannya. Entahlah, mungkin sekarang pipiku sudah sangat amat merona gara-gara ledekannya tentang SMS dari abangnya; Billy.
Dasar ! aku benar-benar sudah jatuh hati sama Billy -lebih tepatnya jatuh cinta- seperti kata Andin.

Teriknya siang ini tidak bisa mengurungkan niatku untuk mampir ke café Disney; di mana aku dan Billy pernah berduaan. Ah, aku jadi teringat lagi dengan tatapan dan senyumannya. Rasanya tidak terima kalau satu detik saja tidak bertemu dengannya.
Café sangat ramai ketika aku masuk. Udara dingin AC pun langsung menyapaku dan menyeka semua keringatku sewaktu berjalan tadi. Aku memilih duduk di tempat yang sama waktu aku berdua saja dengan Billy. Ah, gemericik air waktu itu belum ada.
Aku menyapu seluruh ruangan berniat mencari pelayan yang mau menghampiriku. Akhirnya aku lambaikan tangan kananku ke satu pelayan yang berada tepat di depan pandanganku.
“Selamat datang Mbak,”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Saya mau es krim stroberi aja Mbak, sama kentang goreng ya.” Ujarku.
“Baik. Mohon ditunggu ya,” jawabnya tersenyum lalu berbalik dan meninggalkanku setelah meletakkan notanya di mejaku.

Setelah pesananku datang, aku kembali menyapu ruangan sambil menikmati dingin dan nikmatnya es krimku. Siapa tahu saja aku menemukan sosok Billy di ruangan ini.
Ah, aku tersenyum menemukan sosok rambut keriting bertopi hitam di ujung pandanganku. Senyumku tidak dapat aku sembunyikan. Tapi mulutnya menandakan kalau dia sedang berbicara dengan orang lain di hadapannya. Aku tidak bisa melihat siapa karena terhalang tiang penyangga ruangan. Seperti biasa, dia memesona hari ini.
Aku meninggalkan es krimku sementara dan memakan kentang gorengku. Sudah cukup membantu untuk mengganjal perutku yang kosong; walaupun sebenarnya tidak terlalu lapar.
Billy mendekat ! jantungku berdebar hebat. Wajahnya menyiratkan kebencian atau semacamnya. Ada orang lain yang berjalan di sampingnya. Cewek itu- bisa dibilang sangat amat centil sekali. Dari sorot matanya ia berniat menggoda atau merayu Billy. Dilihat dari dandanannya yang sangat menggoda, aku tahu dia cewek seumuran Billy.
Dia memeluk manja lengan Billy. Dan Billy diam saja.
“Sayang, aku tuh sayang sama kamu,” ujarnya tidak kalah manja ketika sampai di depan kursiku.
Billy sama sekali tidak menyapaku padahal aku tahu dia melihatku. Cewek itu tetap saja bergulat di lengan Billy. Baru aku tahu, ternyata cemburu itu sangat amat menyebalkan.

®
Aku tidak lagi bisa menghitung berapa kali Billy mencoba menggangguku dengan missed call dan SMSnya. Aku malas dan sama sekali tidak ingin berdebat dengannya dan membaca pesannya; meskipun rasanya ingin. Tapi dia menyakitiku. Dia mengabaikanku.

“Kamu kenapa murung aja Sayang ? ini kan hari sabtu. Nggak biasa-biasanya kamu cuma diem aja di rumah,” tanya mama, lalu menghampiriku yang duduk di teras belakang rumahku. “Kayaknya anak perempuan mama ini lagi jatuh cinta ya ?”
“Justru karena perasaan itu Ma. Ocha benci banget cemburu !” tukasku malas.
Aku berusaha menahan air mata yang akhirnya keluar juga. Mama memelukku.
“Memangnya pacar kamu itu kayak gimana sih ? kok Mama nggak dikenalin ?”
“Dia belum jadi pacarku,”
“Belum ?” tanya mama heran menangkap perkataanku. Lalu tersenyum menggodaku.
“Kayaknya udah nggak mungkin lagi,” ujarku lemah di sela-sela tangisanku.
Mama mengelus rambutku manja. “Kenapa kamu bilang gitu ?”
“Dia udah punya cewek yang lebih cantik dan dewasa dibanding Ocha,”
Mama menghiburku. Memberiku nasihat dan hiburan hangat yang membuatku lebih bisa menerima kenyataan gila itu. Aku malu. Dan semua sudah terlanjur terbaca sama Billy. Tentang sikapku, tentang perasaanku; mekipun secara tersirat, bagiku itu sudah pasti sangat jelas di matanya.

“Cha !” seru Mas Rio di ambang pintu teras. Hari ini dia libur.
Aku melepas pelukan mama; sebenarnya masih ingin lama-lama di dalam sana. “Apa ?”
“Ada cewek cantik nyariin lo !”
Aku mengerutkan dahi. Sudah tahu siapa yang dia maksudkan.
“Awas aja kalo lo berani godain dia !” ujarku tegas lalu bangkit meninggalkan mama dan Mas Rio tentunya.
“Ye… dasar orang jatuh cinta tuh bawaannya emosi mulu ya Ma ?”

“Ada apa An ?” tanyku mengagetkan Andin yang tengah menungguku di ruang tamu.
Aku meletakkan dua gelas jeruk dan duduk di dekatnya.
“Aku lagi sebel sama abang aku ! makanya aku ke sini aja. Daripada diusilin terus ?”
Aku menghela nafas. Untung aja dia nggak nyebut nama abangnya itu.
Andin mengerutkan dahi menatapku. “Kayaknya kamu juga lagi males ya sama orang ?”
Tepat.
“Baru dugaan,” ujarku malas. Nyaris tidak terdengar.
“Apa ?”
Aku menggeleng. “Nggak penting ah ! shopping yuk !”
“Emang tanggal tua gini lo punya duwit ?”
Andin tertawa dan menunjukkan dompetnya yang hanya berisi satu lembar dua puluh ribuan.
Aku ikut tertawa. “Kita nyolong aja !”

“Gila lo An ! masa mau nyolong di tempat celana dalam gini sih ?” tukasku melihat Andin yang sangat antusias memilih-milih celana dalam.
Andin menarikku keluar. Dasar cewek yang aneh.
“Cha ! kayaknya rambut kamu itu perlu dicuci deh !”
Aku menatapnya marah. “Niat kita ke sini bukan untuk itu !”
Andin menertawaiku yang sangat anti masuk ke salon kecuali hanya untuk potong rambut.

Setelah bosan mengelilingi seisi mall, akhirnya aku dan Andin berhenti di salah satu café untuk merenggangkan otot dan mengisi perut yang sudah merengek minta diisi.
Aku sibuk memakan steakku.
“Gimana kamu sama Bang Billy ?”
Aku menatap Andin sesaat lalu mengalihkan pandanganku ke sekeliling ruangan.
“Apa abang lo itu punya cewek ?” tanyaku hati-hati. Penasaran.
Andin merengut seang memikirkan sesuatu. “Seingetku sih dia udah putus setahun yang lalu sama ceweknya,”
“Oh,”
“Emang kenapa ?”
Aku menggeleng.

Puas mengelilingi mall. Aku berpisah dengan Andin di setengah jalan karena dia akan mampir ke rumah pacarnya. Dan keputusan yang bagus buatku untuk tidak mengikutinya. Jalanan yang aku lewati cukup padat karena malam minggu. Ada turis, penjual kue, penjual es dengan grobaknya, tukang becak, orang pulang kerja, dan aku.
Rasanya kakiku malas sekali untuk diajak pulang ke rumah. Akhirnya aku berhenti di salah satu toko buku di ujung jalan. Dan itu sangat amat bukan diriku. Entah apa yang membawaku masuk ke dalamnya.
Penjaga toko menyapaku ramah. Aku hanya mampu menjawabnya dengan anggukan.
Aku terus berjalan mengitari setiap rak buku dengan jenis berbeda. Kali ini aku berhenti, di salah satu rak novel remaja. Kayaknya seru.
“Ada keluaran buku terbaru Mbak. Baru saja kemarin. Isinya menarik buar remaja seusia Mbak,” penjaga toko yang tadi menyapaku menawariku salah satu buku yang diambilnya. Dan sekilas aku baca judulnya-HALTE BUS.
Aku menerima buku itu dan membaca sinopsisnya. Ada satu pesan di akhir sinopsis yang aku baca.
Cemburu itu lambang kesetiaan.

Bukan salah buku itu jika aku langsung mengingat Billy; lagi.

®

Dasar buku sok tahu ! dari mana si penulis ini tahu kalo cemburu itu lambang kesetiaan ? cemburu itu menyakitkan !
Aku membanting keras buku sampul merah yang baru saja aku beli. Apa sih istimewanya dia ? aku belum mengenal dia lebih deket ! kenapa aku begitu resah waktu mikirin dia ? toh belum tentu dia ngerasain apa yang aku rasain !
Aku mencoba merebahkan diri dan menutupnya dengan selimut-serapat-rapatnya meskipun kamarku sudah gelap. Tapi entahlah. Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Meskipun aku tahu ini sudah lewat tengah malam. Dasar Billy gila !
Aku membuka selimutku menghampiri meja komputer. Setelah lama menunggu komputer loading, aku membuka program MS. WORD. Beberapa detik diam lalu menemukan satu kata, dua kata, satu kalimat, hingga berakhir pada satu paragraf.
Paragraf kedua.
Paragraf ketiga.
Drrrrt….
HPku bergetar tanda panggilan masuk.

“Ya An ?”
“Anu Cha !” suara Andin di seberang sana terdengar parau. Dia terisak.
“Apaan sih ? kenapa anu lo ?”
Andin terisak lagi. “Bang Billy. Sekarat.”

Sekarang yang aku pikirkan adalah berlari secepat-cepatnya ke rumah sakit. Aku tahu rumah sakit kelewat jauh dari rumahku. Aku tahu mama berteriak mencegahku untuk tidak pergi. Aku tahu Mas Rio sedang serius mengejarku di belakang saat ini. Aku tahu, sekarang aku TANPA alas kaki.
Aku mengkhawatirkan orang itu. Orang jahat itu. Yang sudah SEDIKIT melakukan kesalahan tapi SANGAT melukai hatiku. Teramat dalam. Dan sekarang dia terbaring lemah seperti orang mati. Entahlah. Aku memang BODOH.
Nafasku tersengal. Ku rasakan kakiku yang mulai gontai. Aku mendenggar langkah tergesa Mas Rio yang semakin dekat.
“Gila lo Cha ! mau bunuh gue lo ?” Mas Rio terlihat sangat tersiksa dengan dadanya yang kembang kempis cepat sekali. Ia membungkuk memegangi lututnya yang kelelahan mengejarku. Dan rumah sakit masih jauh. “Kayak nggak ada mobil aja ?” tukasnya kecut.
Aku berhenti. Berbalik menatap mas Rio.
“Siapa yang nyuruh lo ngejar aku ?” aku mulai terisak.
Mas Rio mendengus kesal. “Gue nyesel udah nurutin maunya mama !”
Mas Rio menghampiriku. Aku semakin keras mengeluarkan air mata. Baru aku merasa ketakutan yang luar biasa seperi ini. Ketakutan seandainya aku terlambat. Dan dia meninggalkanku. Dia yang belum BENAR-BENAR aku kenal. Mas Rio memelukku.
Dan aku tidak tersadar telah membuat bekas ingus dan air mata di kaosnya.
“Gila lo ! parah !”
Aku sedikit tertawa ditengah-tengah rasa takutku yang amat dalam.
Rumah sakit sudah sangat sepi dan aku tahu jam berkunjung pasien sudah habis. Hanya satu ruangan yang terlihat paling terang di mataku. RUANG OPERASI.
Aku berjalan dengan gemetaran menghampiri ruangan itu. Di sana berdiri Andin dan dua orang lagi yang aku yakin mereka adalah orang tua Andin; dan Billy.
Andin menghampiriku. Matanya bengkak memerah. Begitu juga yang aku lihat sekilas dari mata wanita paruh baya yang tadi duduk di samping Andin. Namun pria itu-mungkin papa Billy lebih banyak diam. Terlihat dari sikap mereka berdua kalau mereka benar-benar sudah bercerai. Mungkin rasanya sesak berada di dalam satu ruangan dengan ‘mantan’.
“Gimana ?” tanyaku kepada Andin dengan nada sedih.
Andin menunduk. Lalu menggeleng.
Mas Rio memegangi bahuku di sampingku. Aku tahu maksudnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu terbuka berasal dari ruang operasi. Jantungku langsung bereaksi tidak terkendali. Mungkin begitu juga dengan Andin dan orang tuanya yang langsung berdiri melihat seseorang mengenakan jubah, tudung dan masker yang semua berwarna hijau keluar dari ruangan.
Ekspresi orang itu -sepertinya dokter- sangat sulit ditebak.
“Gimana anak saya Dok ?” tanya mama Billy. Parasnya yang anggun terlihat rapuh.
Dokter itu melepas maskernya dan bernafas; lega. “Lancar Bu,”
Kami semua berpandangan lega.
“Tinggal menunggu sampai anak anda siuman,” Dokter itu menutup pintu ruangan yang tadi diabaikannya. “Kami akan terus memantau perkembangannya,”
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Billy ?
“Dok,” Dokter menoleh ke arahku. “Apa saya boleh melihat Billy ?”
Dokter mengangguk. Dan mama Billy mengijinkanku menjadi orang pertama melihat Billy, begitu juga dengan yang lainnya. Mas Rio juga masih tidak ingin beranjak meninggalkanku sendirian di sini.
Aku membuka pintu ruangan agak kasar. Berharap Billy mendengarnya dan terbangun dari tidurnya.
Aku menghampiri Billy. Dia lebih pucat. Kurus; dan itu baru aku sadari karena pakaiannya yang terlalu besar. Dia begitu tenang dalam tidurnya dengan alat bantu pernafasan di hidungnya. Ada bundaran hitam di dekitar matanya. Sudah berapa lama dia seperti ini ?
Aku membelai pelan pipinya yang hangat.
“Mbak, saya tinggal dulu ya,” salah satu perawat yang sedari tadi aku hiraukan menghampiriku. Aku membalasnya dengan senyum datar. ia meninggalkan ruangan diikuti dengan perawat yang lain. Ada banyak botol darah di tangan mereka.
Aku kembali menatap Billy.
“Hei maling ! kenapa lo lemah gini ?” aku terisak. “Aku jadi kayak nggak kenal sama lo tau nggak ?”
Aku lagi-lagi membelai lembut pipinya. Kini lebih hangat dari sebelumnya.
“Dasar gila ! lo sengaja ya bikin aku sedih gara-gara lo ?”
Pintu ruangan terbuka. Aku menoleh ke arahnya untuk melihat siapa yang masuk.
Aku melihat sosok perempuan dengan perawakan dewasa dan rambutnya yang panjang menghampiriku; mungkin maksudnya untuk menghampiri Billy.
Ia menatapku sebentar lalu beralih menatap Billy. Meletakkan rangkaian bunga yang tadi dibawanya di samping Billy. Itu sangat menganggu !
“Kamu siapa ? sepertinya aku pernah lihat kamu,” tanyanya. Tetap memandang Billy.
Aku menarik nafas dan membuangnya kasar. “Aku temennya Billy,” jawabku dingin.
Perempuan itu tertawa. Cantik, pikirku.
“Billy gila udah jatuh cinta sama anak kecil kayak lo ! laki-laki 23 tahun jatuh cinta sama cewek SMA ?” serunya agak sinis. Tetap tidak menatapku.
Aku terkesiap mendengar ucapan sinisnya. Aku menggeleng, mencerna perkataannya yang tidak pernah aku dengar dari orang lain sebelum dirinya.
“Apa ?” tanyaku tertahan.
Perempuan itu seperti mencoba menahan air matanya yang akhirnya jatuh juga. Ia menyekanya kasar. Kali ini dia menatapku.
“Ku rasa, kamu yang sudah benar-benar membuatnya bertahan,”
“Apa maksudnya ?” tanyaku tidak mengerti.
Perempuan itu tertawa. “Dia leukimia,”

®

Sepulang sekolah aku berniat datang menjenguk Billy yang sekarang sudah dipindah di ruang perawatan. Tapi dia tidak kunjung siuman. Masih ada kesempatan dua belas jam lagi untuknya seperti kata dokter. Dia akan siuman tidak lama lagi, aku mencoba menghibur hatiku.
Aku menggenggam erat tangannya yang lemah.
“Bil, lo bangun deh ! aku punya gitar bagus lho buat lo ! belum pernah aku pake sama sekali., soalnya aku nggak bisa.” Aku tertawa. Sendiri.
Aku memandangi wajahnya lekat. Aku teringat HPku yang tidak pernah berpindah dari tas sekolahku semenjak Billy mencoba menghubungiku. Aku mematikannya.
“Bil, gila ! kenapa sih lo nggak mau bangun ? lo nggak pengen mandi, hah ? lo udah tiga hari tidur mulu,”
Aku mengaktifkan HPku. Menunggunya benar-benar aktif. Lalu aku membuka inbox yang tertera “12 new messages”.
Bill, ini dari lo semua ?
Aku membuka pesan pertama yang dikirim 27 Desember.
Cha, kenapa nggak angkat telepon gue ?

Aku memandang Billy sesaat. Lalu melanjutkan pesan kedua, 27 Desember.
Lo marah sama gue ? tadi sore maksud lo ? kenapa marah ?

Ketiga. Tetap 27 Desember.
Lo tau ? dia bukan siapa2. Cuma MANTAN gue.

Keempat. 27 Desember.
Lo seharusnya nggak marah. Kecuali lo suka sama gue.

Kali ini wajahku memanas. Aku melanjutkan pesan kelima. Tetap 27 Desember.
Terserah lo !

Aku membaca pesan keenam sampai ke pesan yang terakhir. Isinya sama.
Mungkin ini bodoh. Tapi gue cinta sama lo. Gue udah tau lo lebih dari yang lo tau. Lo temen Andin. Gue tau lo dari Andin. Gue selalu cari tau hal baru tentang lo dari Andin. Semua. Gue serius. Dan lo tau ? waktu itu gue sengaja ngajak lo kabur ! lo tau alasannya,

Aku terkesiap. Tidak terasa pipiku sudah basah sejak aku mulai membaca pesan Billy.
Aku kembali menggenggam tangan Billy. kali ini lebih keras.
“Bil, lo tau kan ? besok tahun baru ! apa lo nggak pengen bangun ? nggak pengen lihat kembang api ? lo tau, aku suka banget sama kembang api !” aku terisak. Air mataku menjatuhi lengannya. Aku mengusapnya segera.
“Bil, lo harus jelasin kenapa waktu itu nyuekin aku sampe aku salah paham sama lo ?” aku semakin keras menangis. Kali ini menggerakkan lengannya kasar. Seakan bunyi pendeteksi jantung itu berlomba dengan suara tangisanku.
“Gila lo !”
Aku mendekati dan menatap pendeteksi jantung yang bekerja berbeda. Lebih kencang. Gerakannya seperti jantungku ketika berdebar. Aku mendekati Billy, mengusap air mataku.
“Bil, lo denger aku ?” aku mencoba tertawa. “Coba gerakin tangan lo Bil ! please, buat aku yakin lo bener-bener denger gue !”
Aku mencoba menunggu reaksi Billy. Tetap berdiri menunggunya dan menahan sekuatku agar air mataku tidak terjatuh.
1 menit.
5 menit.
10 menit.

Bukan. Itu bukan tangan atau kakinya yang bergerak. Tapi matanya.
Aku tertawa sekaligus mengeluarkan air mata. “Bil, l-lihat aku Bil !” aku terisak lagi.
Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku sekarang melihat Billy membuka matanya perlahan dan mencariku.
“D-Dokter !” teriakku sebisa mungkin.
®

“Gue bener-bener takut seandainya gue tidak pura-pura waktu itu. Takut kalo seandainya Ditra bakalan nyakitin lo !” jelasnya menyebutkan nama perempuan yang membuatku salah paham.
Aku memandangnya lekat.
“Yang penting sekarang lo udah tau kan ?”
Aku cukup mengangguk.
Aku mendorong Billy di atas kursi rodanya menuju ke dalam ruang rawatnya.
“Cha !”
“Ya ?” Aku setengah membungkuk untuk memperjelas jawabanku.
“Gue sayang sama lo !”
Aku mendengus dan tersenyum. “Udah ketiga kalinya lo bilang itu. Aku udah cukup tau,”

Baru saja aku dan Billy melihat kembang api di kejauhan tanda tahun sudah berganti. Dan aku bisa melihat cahaya kembang api itu terpantul di bola matanya yang indah. Baru aku sadar, aku terlalu ingin menjaganya dengan segenap cintaku. Tidak ingin menyakitinya lagi.

Billy tertawa. “Kapan gue bisa lihat lo yang cemburu kayak waktu itu Cha ?”
Aku melotot di depannya yang masih duduk di kursi roda. “Nggak akan lagi !”
Billy semakin keras tertawa mendengar jawabanku yang aku pikir sama sekali tidak ada bau humornya.
“Lo bisa mendekat ?” Billy merentangkan tangannya.
Aku mendekat. Rasanya aku sudah benar-benar harus belajar bagaimana caranya bernafas dengan baik ketika jantung sedang berdebar.
Billy memelukku di atas kursi rodanya. Dan aku harus membungkuk untuk meraih punggungnya.
“Menurut lo, sesuatu yang dalam itu tentang apa ?” tanyaku hatihati; masih memeluknya erat. Teringat akan kata-kata ‘penuh teka-teki’-nya waktu itu.
Billy tersenyum. Terasa jelas ketika pipinya mengembang menyentuh pundakku.
“Tentang perasaan lo sama gue,”

Ingin rasanya aku berkhayal waktu akan berhenti sekarang juga untuk menahan Billy tetap di sisiku dan memelukku. Aku selalu menghindar ketika Andin mencoba membicarakan masalah penyakit Billy. Aku tahu semuanya. Aku hanya tidak ingin mendengarnya saat ini.
“Tetaplah seperti ini,” ujar Billy lemah. Dia menangis.
Aku melepas pelukannya dan mengusap air matanya yang hampir jatuh. “Pasti.”
Billy tertawa lemah. “Ternyata gue berhasil nyuri hati lo !” ujarnya bangga.
Aku pura-pura cemberut. “Dasar maling !”
Billy menjulurkan lidahnya.

Biarlah aku akan melihatnya sendiri nantinya. Melihatnya tertidur lelap dalam damai dan tidak ada seorang pun yang dapat membangunkannya lagi seperti aku membangunkannya. Aku hanya ingin membuatnya hangat sebelum ia benar-benar tidak butuh lagi kehangatan dariku, bahkan dari orang lain.

0 komentar:

Post a Comment