Thursday, December 31, 2009

cerpen cinta : DIA BUKAN DIA

Tiupan angin dari jendela kamarku ini membuatku merindukan dunia yang terang. Dunia yang hanya akan gelap ketika aku tertidur. Tapi kegelapan itu sekarang begtiu nyata. Kegelapan yang terus membuat aku teringat pada satu kejadian memuakkan dua tahun yang lalu pada waktu aku masih duduk di kelas dua SMP. Sampai sekarang aku masih menyesali keadaanku yang kini membuatku tidak berdaya tanpa bantuan tongkatku. Ya, aku buta.
Tapi keadaan Ryo yang saat ini baik-baik saja membuatku sangat bersyukur sekali karena bukan dia yang tertabrak mobil besar pada waktu pulang sekolah itu dan bukan dia juga yang harus mengalami kegelapan yang sekarang aku rasakan. Sulit menghilangkan ingatanku tentang kejadian waktu itu.
Ryo adalah sahabatku yang sampai saat ini tidak akan aku lupa bagaimana wajahnya ketika tersenyum, sedih dan marah. Sahabatku yang tidak akan aku biarkan sesuatu apapun mencelakakan dia. Aku menyukainya, aku menyayanginya, dan sekarang aku masih ragu pada perasaanku yang semakin lama seperti semakin berubah. Apa mungkin ini perasaan cinta ?

Dengan hati-hati aku raba dadaku dan ku cari benda kecil yang melingkar di leherku. Aku pun tersenyum lega karena ternyata benda itu masih aman. "Kamu bunyikan aja peluit ini tiga kali. Aku pasti langsung datang di depan kamu. " itu adalah kata-kata Ryo yang masih lekat di dalam ingatanku saat ia memberikan benda kecilnya untukku.
Priiit...
Baru satu kali aku bunyikan peluitku, aku merasa ada tangan yang menepuk pundakku dari belakang. "Kamu suka banget sih duduk di jendela ? kalau kamu jatuh gimana ?" suara serak itu sudah sangat aku hafal. Itu adalah suara yang sangat aku cintai.
"Berlebihan deh," jawabku polos.
"Turun turun !" seru Ryo menarik tangan kananku pelan.
Dan ada yang aneh. Kenapa Ryo terus menggenggam tanganku ? apa maksudnya ? apa sekarang dia sedang tersenyum ? entahlah. Dunia ini terlalu gelap untuk menerka itu semua.
"Vin," panggil Ryo menyadarkanku membuat tanganku terlepas dari genggamannya.
"Hm..."
Semoga Ryo tidak sadar kalau aku sekarang benar-benar ingin memastikan kalau dia sedang tersenyum.
"Ada kabar baik buat kamu," seru Ryo seperti tertahan. Sebenarnya apa yang terjadi padanya ?
Aku mencoba tersenyum lepas. "Kabar bagus apa ?"
"Ada orang yang mau mendonorkan matanya buat kamu,"
Aku terkejut tidak percaya dengan apa yang Ryo katakan. "Kamu serius ?"
"Iya," jawab Ryo. Entah apa ekspresinya sekarang ini. Aku benar-benar ingin melihatnya. "Pokoknya kamu siap-siap aja kalau sewaktu-waktu kamu diminta buat operasi,"
Aku mengangguk semangat. Aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat wajah yang sudah sangat aku rindukan. Aku sudah rindu dengan senyumannya dan kerutan dahinya ketika ia sedang marah. Aku merindukannya sejak lama sekali.


Aku duduk di tempat tidur yang aku tidak tahu bagaimana bentuknya. Nafasku tertahan karena perasaan tegang yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Di mana Ryo ? padahal dia sudah janji akan menemaniku sebelum aku menjalani operasi.
Brakkk !
"Siapa itu ?" suara dobrakan pintu itu mengagetkanku.
"Maaf Na. Gue telat," suara itu. Ternyata Ryo. Aku pun tersenyum lega akhirnya yang aku tunggu datang juga.
"Kamu kok ngos-ngosan gitu kenapa sih ?"
"Operasinya belum mulai kan ?" aku mnggeleng heran. Seharusnya dia sudah tahu jam berapa aku akan dioperasi. Ada yang aneh. Atau hanya perasaanku ?
"Syukur deh. Gue nggak telat,"
"Permisi mas," ujar seseorang yang sepertinya adalah perawat yang akan mengurus operasiku. 'Operasinya akan segera dimulai dan pasien akan dipindahkan ke ruang operasi,"
"Iya mbak. Eh iya sus," jawab Ryo membuatku geli. Sedikit membuat rasa tegangku hilang.
"Sus, bisa saya ngomong sebentar sama Ryo ?" tanyaku.
"Silahkan,"
"Ryo, kamu di mana ?" tanganku meraba sekeliling mencari sosok Ryo. Akhirnya aku mendapatkan tangannya yang kemudian aku genggam erat. "Yo, kamu masih inget kan janji kamu ?"
"Emm, masih kok. Semangat ya ! gue temenin lo sampe selesai kok,"
Aku pun terbaring dan tangan Ryo lama-lama lepas dari genggamanku. Aku sangat senang sekali akhirnya sebentar lagi aku bisa melihat.



Perban yang melekat di mataku pelan-pelan dilepas. Aku berharap Ryo ingat janjinya kalau dialah orang pertama yang akan aku lihat setelah perban ini terbuka.
"Vina sudah merasa enakan ?" tanya dokter yang membuka perbanku.
"Sepertinya gitu dok. Dok, apa Ryo ada di sini ?"
Dokter itu tidak menjawab pertanyaanku. Terdiam dan membuatku takut seandainya Ryo lupa dengan janjinya.
"Ada kok,"
Suara itu lagi yang membuatku lega. "Vina sekarang sudah bisa melihat lagi," kata dokter Siska yang sudah selesai melepas perban di mataku.
"Ryo !!"
Aku berdiri dan berhambur memeluk orang yang dua tahun ini sangat aku rindukan. Dia pun membalas pelukanku hangat. Tapi ada yang aneh, pelukannya berbeda dengan pelukan beberapa hari yang lalu ketika Ryo mengatakan aku akan dioperasi.
"Gue kangen banget sama lo !" Ujar Ryo membuyarkan lamunanku.
"Aku juga Yo,"
Kini aku tidak akan merasa sepi lagi. Kini aku tidak akan melihat kegelapan lagi. Aku mengambil cermin yang dibawa dokter Hadi, yang mengoperasiku dan melihat mata baruku. Aku mengerutkan dahi heran, aku begitu terbiasa dengan mata ini. Aku begitu tenang dengan mata baru ini. Aku ingin tahu siapa yang memiliki mata teduh ini ?



"Aku nggak mau Yo ! aku nggak mau !" tegasku kepada Ryo yang terus memaksaku untuk melanjutkan sekolahku. "Kenapa sih sekarang kamu jadi suka maksa gini ?" tanyaku heran dengan perubahan sikap Ryo semenjak aku bisa melihat lagi.
"Sorry. Gue cuma.."
"Dan kamu sekarang ngomongnya nggak sopan !" sergahku.
Kenapa sekarang Ryo banyak berubah ? apa maksud Ryo bersikap seperti itu sama aku ? apa aku yang salah ? apa aku yang terlalu khawatir ?
"Maafin aku Yo. Aku nggak bermaksud kasar sama kamu," aku tertunduk di depan Ryo yang terus memandangku. Lalu dia pun memelukku yang lagi-lagi berbeda dengan pelukannya waktu itu. "Aku cinta sama kamu Yo,"
Ryo melepas pelukannya. "Coba lo,"
"Coba kamu ulang sekali lagi !"
"Aku mencintai kamu Yo," kataku lalu perlahan mengeluarkan air mata. Dan lagi-lagi Ryo memelukku.
"Udah dari dulu aku juga cinta sama kamu Na,"
Aku tersenyum sebelum akhirnya aku menangkap satu keanehan lagi yang Ryo tunjukkan kepadaku. "Yo, sebelumnya kamu nggak pernah panggil aku Na." gumamku menahan tangis.
Ryo menatapku lekat. "Aku benar-benar mencintai kamu, Vina !" tegas Ryo di hadapanku. "Masih ada yang aneh ?"
Aku menggeleng dan seketika tangisku pecah. Tuhan, aku benar-benar mencintai orang yang sekarang sedang memelukku dengan begitu erat. Jaga dia untukku Tuhan.



Ryo benar-benar sangat aneh. Sengaja aku ikuti dia dengan taksi yang tadi tidak mau bilang mau ke mana dengan mobilnya itu. Aku benar-benar curiga ada hal yang salah di balik keanehan Ryo selama ini.
Dan aku benar-benar lebih terkejut lagi ternyata dia memberhentikan mobilnya di depan pemakaman. Mau ke pemakaman siapa dia ? setahuku, dia tidak pernah ke pemakaman sebelumnya. Siapa yang meninggal ?
Aku memberikan selembar uang lima puluh ribuan kepada sopir taksi lalu turun dan mengikuti Ryo yang sudah lebih dulu masuk ke pemakaman. Aku membuntuti Ryo yang akhirnya berhenti di salah satu makam. Aku tidak berani untuk terlalu dekat dengan Ryo.
Ryo duduk dan memegang erat nisan yang entah nama siapa yang terukir di sana. Aku mencoba untuk lebih dekat agar bisa membaca nama itu meskipun samar.
Sraakk !
Ternyata kakiku menginjak tumpukkan daun kering dan membuat Ryo menoleh ke arahku. Begitu herannya aku ketika aku menangkap ekspresi yang sama di wajah Ryo dengan ekspresiku sekarang ini.
"Vi, Vina ?"
"Ryo, ngapain di sini ?" tanyaku mencoba menutupi keterkejutanku. Aku perlahan mendekat ke arah Ryo.
"Jangan mendekat !" sergah Ryo mencegahku lalu menghampiriku. "Ayo kita pulang !"
"Nggak !" jawabku keras menolak ajakan Ryo.
Aku menghampiri makam itu lalu membaca tulisan yang ada di nisan itu yang bertuliskan nama "RYO HANDOKO".
Aku membalikkan tubuhku dan mendorong Ryo yang ada di dekatku. "Itu maksudnya apa ?" tanyaku menunjuk pada nisan yang bertuliskan nama Ryo itu.
"A, aku.."
aku mulai meneteskan air mata. "SIAPA KAMU ? SIAPA PEMILIK MATA INI ?" tanyaku menunjuk pada mata baruku. Ryo hanya memandangku tanpa bisa mengeluarkan kata-kata apapun. Aku kembali ke makam itu lalu terduduk di depannya.
"Kamu siapa ? kenapa nama kamu sama seperti nama Ryo ?" tanyaku memandang nisan itu.
Ryo menarik tanganku dan memintaku berdiri. "Sebelumnya aku minta maaf dan sekali lagi aku jujur kalau aku sangat mencintai kamu. Aku sebenarnya bukan Ryo. Aku adalah Ryan, saudara Ryo !"
Begitu miris hatiku mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Ryo yang menyebutkan nama aslinya adalah Ryan. "Ryan ? siapa Ryan ? Ryo nggak pernah cerita kalau dia punya saudara,"
"Dia nggak terima karena aku juga suka sama kamu. Dia sengaja menyembunyikan aku,"
"Kenapa kamu datang ?" tanyaku dengan isak tangis dan air mata yang terus mengalir.
"Dia yang meminta aku untuk menjaga kamu sebelum akhirnya kanker darah merenggut nyawanya,"
Lagi-lagi aku menagis dan tersungkur di depan saudara Ryo itu. Dia pun ikut terduduk di hadapanku. "Di mana Ryoku ? di mana ? DI MANA ?"
Ryan memelukku dan entah kenapa pelukannya kini sama dengan pelukan Ryo. "Aku nggak papa kalau kamu mau menganggap aku Ryomu. Asal kamu tau, aku sangat mencintai kamu ! aku akan tunggu kamu sampai kamu benar-benar akan menganggapku Ryan, orang yang sekarang memeluk kamu."
Aku melepas pelukan Ryan dan memandangnya lekat. Aku berdiri dan menghampiri makam Ryo, Ryo yang masih aku cintai. "Makasih Yo. Akan aku jaga baik-baik mata kamu. Nggak akan ada seorangpun yang bisa membuat mata kamu menangis lagi."
Ryan telah berdiri di hadapanku. "Gue yang akan jagain mata lo Yo. Biar nggak nangis lagi. Gue cinta mati sama dia Yo. Makasih," aku melihat Ryan meneteskan air mata dan membuatku mengusap air mataku sendiri. Akupun memeluknya yang masih terus menatap nisan Ryo.
"Aku akan menganggap kamu Ryan. Bukan Ryo."
Ryan membelai rambutku dan membiarkanku terus larut dalam pelukannya yang hangat. Yo, dia yang akan menggantikan kamu di sisiku. Dia yang sekarang aku cintai tulus seperti aku mencintai kamu.
"Hei, kalo ada apa-apa, tetep bunyiin peluit itu ya !"
Ah, aku jadi teringat lagi kalung pemberian Ryo.

































Bojonegoro, 23 November 2009


RIRIN

0 komentar:

Post a Comment